Judul Buku : Flow di Era Socmed – Efek Dahsyat Mengikat Makna
Penulis : Hernowo Hasim
Penerbit : Kaifa (Imprint Penerbit Mizan)
Terbit : Cetakan pertama, Mei 2016
Tebal : 228 hlm.
ISBN : 978-602-0851-48-8
Rating : 4/5 bintang
Sinopsis Buku :
Hernowo Hasim terus mengembangkan konsep membaca dan menulis yang tidak standar dan tidak membosankan. Dalam buku ini, dia mengaitkan membaca-menulis dengan cara-cara memperbaiki kemampuan berkomunikasi, menulis untuk mengalirkan diri, serta bergelut dengan literasi secara nyaman-menyenangkan dan memberdayakan. Seluruh buku penting untuk mendukung gerakan literasi. – Haidar Bagir , penulis, pakar pendidikan, dan Presiden Direktur Mizan
Komunikasi memiliki berbagai wajah di era maraknya media sosial seperti saat ini. Komunikasi muncul dalam bentuk visual di instagram, tayangan bergerak di Youtube, status di facebook, informasi sangat ringkas yang berseliweran tak kenal henti di twitter, dan di berbagai bentuk medsos yang lain. Setiap orang ingin menjadi penyampai pesan atau pemberi kabar. Ada kabar yang disampaikan dengan jelas dan ada yang tidak lancar. Ada yang terbata-bata dan ada yang mengalir lancar. Bagaimana menyampaikan pesan yang mengalir di media social?
Lewat buku ini, Hernowo Hasim memanfaatkan mengikat makna (sebuah model sinergi empat pilar komunikasi – reading, writing, speaking, listening- dalam satu paket kegiatan) untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan mengalirkan pesan secara tertulis.
Selain itu, didemonstrasikan pula efek dahsyat mengikat makna lewat praktik membaca lantang (read aloud) dan membaca ngemil, kemudian menyimak secara aktif (active listening), serta menulis mengalir bebas (free writing) untuk menyirnakan tekanan pikiran dan membuang berbagai emosi negatif.
Resensi Buku :
Hernowo Hasim menuliskan buku Mengikat Makna sebelum buku ini ada. Jadi, bisa dibilang buku Flow di Era Socmed adalah buku kelanjutan dari buku sebelumnya. Flow di era socmed artinya mengalir di era social media.
Apapun berita dan informasi di era social media bisa dengan mudah kita dapatkan. Pak Hernowo ingin agar kita bisa menyerap makna pesan yang disampaikan di social media dengan baik, tanpa terburu-buru, membacanya dengan jernih dan dapat menyerap makna atau pesan yang disampaikan oleh pengirim pesan tersebut. Pasalnya, di era socmed, info yang disampaikan sangat dibatasi oleh karakter huruf (misal : facebook, twitter, instagram, dll) sehingga keterbatasan itu belum bisa menggantikan peran buku sebagai sarana mengikat makna (deep thinking).
Saat kita ingin mencari informasi di era social media, kita harus melihat bahwa informasi yang disajikan di sana sangat beragam. Namun, bisakah informasi tersebut diikat oleh makna? Mengikat makna menurut pak Hernowo Hasim adalah menuliskan kembali apa-apa yang dipahami setelah membaca informasi yang diperoleh.
“Inti mengikat makna dalah memang membaca sederet teks dan kemudian menuliskan kembali pemahaman atas deretan teks yang telah dibaca tersebut secara bebas ke selembar kertas atau ke layar laptop.”(hlm. 15)
Jadi...
Mengikat makna akan mampu melejitkan empat kecakapan berbahasa : membaca, menulis, berbicara, dan menyimak yang juga merupakan empat kemampuan dasar berkomunikasi. (hlm. 17)
Pak Hernowo Hasim yang juga seorang dosen ini, menginginkan para mahasiswanya untuk belajar menyatukan kegiatan membaca dan menulis atau mengikat makna. Saat ia mengajar materi di kelas, ia menyebutkan bahwa tugas yang diberikan ditekankan pada satu hal yaitu memberikan kesempatan kepada setiap mahasiswa untuk mengeluarkan pikiran orisinalnya dan kemampuan untuk berlatih menulis. (hlm. 25)
Setiap kali memberikan tugas, pak Hernowo berupaya memilihkan topik yang memaksa para mahasiswanya untuk mencari dan menemukan bahan-bahan menulis itu di dalam dirinya sendiri. (hlm 25)
Jadi alur untuk mengikat makna adalah membaca terlebih dahulu sebelum menulis, lalu apa yang diperoleh dari kegiatan membaca itu harus dituliskan secara bebas. Sehingga pesan yang disampaikan akan diikat ke dalam sebuah tulisan, yang kemudian bisa melahirkan gagasan baru. (hlm. 27)
Pak Hernowo ingin mengajar setiap mahasiswa untuk terlibat dan melatih sebuah keterampilan (skill). Menulis adalah cara yang ampuh untuk membuat setiap mahasiswa dapat terlibat dengan materi perkuliahan yang sedang digeluti. (hlm. 27)
Buku ini dapat membantu siapa saja yang ingin berkomunikasi di media social lewat tulisan dalam tiga ukuran : kejelasan, ketertataan, dan keunikan. Kecakapan berkomunikasi yang ingin ditingkatkan memang dalam konteks pribadi dan sehari-hari. Selain itu, berkomunikasi di media social juga perlu kontrol diri yang tinggi. (hlm. 27)
“Kejernihan bahasa ungkap tulisnya, akurat, jernih dan mencerahkan. “
Menurut Profesor Muchlas, skill adalah kecakapan yang tidak sekadar keterampilan manual atau teknis. Bagaimana seseorang terampil dalam mengolah pikirannya untuk memahami dan menyampaikan pemahamannya itu secara jelas, tertata dan unik yang perlu kecakapan berpikir yang tinggi. (hlm. 33)
Model latihan mandiri dalam buku Flow di Era Socmed ini dapat memperbaiki seluruh aspek yang dicakup dalam communication skill.
Nah, apa saja 3 aspek communication skill itu?
- Bagaimana seseorang memiliki kemampuan dalam membuang (mengungkapkan) pikiran dan gagasan secara lebih mudah.
- Bagaimana seseorang dapat menyiapkan dirinya untuk dapat berkomunikasi dengan bahasa yang jelas, tidak monoton, dan bahasa tersebut mampu mewakili keunikan dirinya.
- Bagaimana seseorang dapat memiliki kemampuan memahami secara baik. (hlm. 33)
Di bahasan berikutnya, pak Hernowo Hasim mengatakan bahwa kita perlu keterampilan berbahasa yaitu membaca, menulis, berbicara, dan menyimak dalam bingkai konsep selfish yang artinya pedulikan dan perhatikan dirimu sendiri. Buat ruang privat yang di dalam ruangan tersebut hanya ada dirimu saja. Pusatkan perhatian pada dirimu sendiri. Kamu harus menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Kamu harus menjadikan dirimu berkembang dan dapat menjalankan kegiatan berkomunikasi lebih baik daripada sebelumnya.
Perbaikan kemampuan berkomunikasi memiliki tiga ukuran keberhasilan yaitu : dapat berdialog dengan diri sendiri, mengevaluasi diri sendiri, dan mengenali diri sendiri. (hlm. 37)
Saat berlatih, buatlah pertanyaan sebanyak mungkin. Buat ruang privat di dalam dirimu, dan tak ada orang lain selain dirimu sendiri.
Misal :
“Aku ingin dapat mengeluarkan seluruh pikiranku lewat kata-kata.”
“Dapatkah aku menyampaikan keinginanku secara baik?”
Kita dapat berbicara dan menulis dengan melibatkan diri sendiri. Hingga akhirnya apa yang kita baca atau dengar kembali adalah keadaan dirimu yang sesungguhnya.
Lewat mendengar dan membaca kembali suara yang direkam dan tulisan yang dituis, kita akhirnya bisa mengenali diri sehingga seperti melihat cermin. Kecakapan berbahasa yang terintegrasi dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu.
Menulis di ruang privat atau menulis untuk diri sendiri dibuat sebagai cara untuk menulis dengan mengalir bebas. Menulis di sini maksudnya agar kita terbiasa menulis dengan bebas, tanpa terkurung dengan aturan. Sehingga lebih mudah membuang segala emosi negatif dan pikiran yang semrawut atau kacau balau. Nah, saat itulah kita bisa menyampaikan kejernihan dan ketertataan pikiran kita lewat tulisan. (hlm. 47)
Menulis itu berpikir. Menulis itu menyampaikan pikiran. Menulis dapat lebih mudah, ringan dan tanpa beban saat menuliskannya lewat proses free writing.
“Proses menulis yang nyaman dan menyenangkanlah yang perlu kita tuju. Tujuan lain menulis di ruang privat adalah mengfungsikan atau memetik pelbagai manfaat menulis. Peningkatan ketrampilanmu dalam mengungkapkan dan mengomunikasikan pendapat dan gagasanmu. “ (hlm. 57)
Ada dua cara free writing yaitu : menulis dapat dimanfaatkan untuk membangun dan menata kepingan pengetahuan yang masih berserakan di pikiranmu. Selain itu, free writing dapat membantu mengeluarkan pikiran orisinalmu menjadi gagasan, lalu menyusunnya sehingga mencerminkan dirimu sendiri.
Ketrampilan membuka pikiran dan merangkai kata dapat menjadi ketrampilan penting dalam meningkatkan writing skill. Melalui pemetaan pikiran, kita dapat membuka pikiran, sehingga tulisan kita akan lebih beremosi, lebih berwarna, dan lebih berirama.
Tehnik clustering lebih mudah digunakan dan idenya juga lebih banyak yang di luar prediksi kita. Misalnya : kita menuliskan kata kursi di tengah kertas kosong. Lalu membuat 4 garis keluar dari kata kursi, kemudian tuliskan 4 kata yang terlintas di kepala saat melihat kertas tersebut. Setelah itu baru dipilih 3 kata yang tak ada hubungannya dengan kata kursi. Itulah ide yang sangat berbeda dan akan membuat gagasan kita makin unik.
Menulis juga digunakan untuk mengonstruksi ide dan gagasan yang sudah ada menjadi sebuah keunikan.
Selain itu, saat kita belajar pada seorang guru, ada dua kemungkinan ilmu guru tersebut berkembang atau tidak. Jika murid tersebut memposisikan diri menjadi cangkir, maka cangkir hanya akan mendapatkan ilmu dan mengeluarkannya kembali dalam bentuk air. Namun jika air diberikan pada tanaman, maka tanaman akan mengembangkan air tersebut. Memanfaatkannya menjadi tanaman yang lebih besar lagi, lalu berbuah dan memiliki daun yang lebat. Artinya, jika kita mendapatkan guru yang bisa merangsang proses berpikir kita, maka kita akan berkembang. Namun sebaliknya, jika ilmu tersebut hanya disimpan saja, maka ilmunya tak akan kemana-mana, seperti cangkir hanya menampung air secukupnya.
“Segepok ilmu pengetahuan baru akan menjadi sebuah ilmu yang bermanfaat jika pengetahuan itu dapat diolah terlebih dahulu. Murid harus diberi kesempatan untuk merenungkan dan menuliskan (membangun) setiap pengetahuan yang diterimanya. Seorang guru harus dapat mendorong murid agar berani secara habis-habisan mengaitkan (mengontekskan) pengetahuan baru itu dengan keunikan pengalaman dirinya.” (hlm. 83)
Rumus membaca yang baik :
- Kemampuan membaca yang di dalamnya terdapat kesigapan menemukan buku yang baik/ buku yang bergizi
- Memanfaatkan kegiatan membaca sebagai kegiatan belajar tulisan-tulisan yang baik (harus bernalar/reasoning dan memiliki kaidah bahasa yang baik)
- Membaca efektif yang memiliki efek atau pengaruh terhadap peningkatan kualitas diri.
Jadi, menurut pak Hernowo,
“Bacaan yang baik atau tulisan yang bergizi tidak bergantung pada tema bacaan. Bagi saya, bacaan bergizi ditentukan oleh kualitas bahasa ungkap tulis bacaan tersebut. Apapun jenis atau tema bacaan, apabila bahasa ungkap tulisnya baik, tertata, jernih dan bening dan menggerakkan pikiran, ia dapat disebut sebagai bacaan yang bergizi. Seperti makanan yang bergizi yang menyehatkan tubuh, bacaan yang bergizi juga akan menyehatkan pikiran dan jiwa.” (hlm. 101)
Pembicara yang baik selalu fokus pada konteks dan teks yang menjadi tema. Menyimak adalah melatih berpikir. Menulis adalah mengekspresikan hati melalui proses berpikir yang bermakna. Membaca-menyimak dan menulis-berbicara akan saling membantu dan mendukung untuk keperluan meningkatkan atau memperbaiki kemampuan berkomunikasi kita. (hlm. 133)
“Mengikat makna menyarankan agar ketika membaca teks, kita sesekali membaca secara lantang atau nyaring (read aloud). Dengan membaca lantang, kedua telinga lahir kita pun akan ikut menyimak apa yang kita baca. Kita dapat mendengarkan nada suara kita. Apabila membaca dengan terbata-bata, suara kita tentu tidak enak kita dengar.” (hlm. 135)
“Membaca secara ngemil adalah membaca untuk menyimak materi yang dibaca dan menepatkan bacaannya—baik ejaan maupun iramanya. Dengan membaca lantang, otomatis saya akan melantunkan irama bacaan saya. Jika tulisan saya terlalu panjang, saya akan terengah-engah membacanya. “
Kesimpulan :
Nah ada banyak hal lain yang dibahas buku ini. Saya sarikan saja intinya di bawah ini ya. :D
Inti dari mengikat makna di buku Flow di Era Socmed ini adalah kita belajar untuk mengikat makna dengan menuliskan kembali apa yang kita serap di social media dengan memberikan makna pada apapun yang kita baca di socmed. Jadi, informasi itu bisa diolah kembali menjadi gagasan baru.
Dari mengikat makna, kita juga bisa belajar meningkatkan kecapakan atau skill komunikasi yaitu dengan read aloud atau membaca lantang. Membaca lantang akan memungkinkan kita mendengar secara seksama apapun yang kita ucapkan. Ejaan dan irama yang dihasilkan dari ucapan kita saat membaca lantang akan membantu kita memasukkan kata baru ke dalam pikiran kita. Dengan memaknai kata demi kata, kita akan memperoleh gagasan baru. Lalu lahirlah rekonstruksi pemikiran yang menghasilkan gagasan yang unik sesuai diri kita.
Maka proses mengikat makna bisa menjadi sebuah hal baru yang bisa kita lakukan, latih terus menerus agar ilmu kita tidak berhenti hanya ketika kita membacanya saja. Karena dengan memaknainya, kita lebih paham bahwa ilmu tersebut bisa sesuai dengan kebutuhan kita. Kita bisa memilah ilmu yang didapat sesuai dengan kebutuhan, lalu menyajikannya kembali dengan menambahkan pengalaman kita sendiri.
Kemampuan kita dalam mengikat makna di era social media akan menjadikankan skill komunikasi kita menjadi lebih baik lagi. Mengikat makna membuat komunikasi kita lebih lancar, tertata, dan unik. Karena kita bisa menata pikiran kita yang ruwet ke dalam sebuah dialog atau komunikasi yang lancar karena kebiasaan mengikat makna kita. Jadi, perbanyak frekuensi menulis untuk mengikat informasi yang kita peroleh, sehingga kita lebih paham apa yang sudah kita pelajari sebelumnya.
Nah, apa kamu sudah paham maksud dari Hikmah Mengikat Makna di buku Flow di Era Socmed karya Pak Hernowo Hasim ini? Jika iya, share dong kesanmu di komentar ya. ;)
makasih resensinya
BalasHapusada penilaian terhadap buku nya gak?
BalasHapusAda kelebihan dan kekurangan bukunya?
BalasHapus