Judul Buku : Sabtu
Bersama Bapak
Pengarang :
Adhitya Mulya
Penerbit : Gagas
Media
Terbit : Cetakan
keduapuluh dua, 2016
Tebal : 278 hlm.
ISBN : 979-780-721-5
Sabtu
Bersama Bapak adalah novel dari Adhitya Mulya, suami Ninit Yunita yang
merupakan karya best seller dari penulisnya. Awalnya saya beli karena
penasaran. Novel ini muncul dengan cover baru yaitu versi filmnya yang akan
tayang minggu ini. Saya tertarik membaca karena ada beberapa teman yang
merekomendasikan buku ini untuk jadi bacaan di kala senggang.
Novel
Sabtu Bersama Bapak berkisah tentang dua anak lelaki yang tumbuh dewasa dengan
didikan bapak yang telah tiada. Bapak mewariskan pemikirannya yang ia tuangkan
dalam berpuluh-puluh kaset video yang dibuatnya sebelum meninggal. Bapak ingin
anak-anaknya tumbuh tanpa kehilangan peran kepala keluarga yang akan mengajari
mereka banyak hal tentang kebijakan hidup.
Bapak
hanya punya jatah hidup dalam waktu 1 tahun sebelum meninggal. Karena vonis
kanker yang dideritanya membuat bapak harus berjibaku mengejar waktu selama
satu tahun untuk membuat video-video yang penting bagi kehidupan anaknya kelak.
Setelah kematian bapaknya, Satya dan Cakra, kedua anak Bu Itje dan pak Gunardi
tumbuh menjadi lelaki cerdas dan mapan. Dua hal yang menjadi masalah kini
adalah Cakra yang jomblo akut tak kunjung menemukan jodoh dan Satya yang jadi
ayah pemberang membuat ketiga buah hatinya takut padanya.
Satya
besar dalam didikan Bu Itje yang berjuang menafkahi hidup dari berjualan
makanan di warung makan yang didirikannya. Setiap kali ada orang yang
mengganggu warung ibunya, Satyalah yang turun tangan dengan berkelahi. Sebuah selfdefense
yang akhirnya membuat Satya menjadi lelaki yang keras dan tak sabaran hingga ia
menjadi ayah dan seorang suami. Satya sering memprotes apa saja yang dirasa tidak
sesuai dengan keinginannya. Istrinya bahkan mengirimi Satya sebuah email agar ia
tidak pulang saja dibandingkan harus melampiaskan marahnya setiap kali pulang
ke rumah. Inilah yang membuat Satya berubah dan mulai menonton lagi video-video
dari bapak yang dulu ia rajin tonton setiap Sabtu sore.
Di
sisi lain, Cakra jatuh bangun merebut hati Ayu, gadis yang ia sukai di
kantornya. Sayangnya ada lelaki lain, Salman, yang lebih agresif dibanding
Saka(panggilan kecil Cakra) yang membuat ia kalah langkah saat mendekati Ayu.
Di lain waktu, Ibu Itje harus menjalani perawatan untuk penyakit yang
dideritanya. Bahkan Ibu Itje tidak mau anaknya tahu perihal sakitnya ini. Ibu
Itje ingin Saka fokus pada pencarian jodoh yang tak kunjung membuahkan hasil
baik. Hingga pilihan untuk menjodohkan Saka dengan anak temannya pun membuat
Saka mau tak mau memilih untuk mencoba bertemu muka dengan sang calon.
Lalu
apa yang akan terjadi selanjutnya? Baca aja sendiri di novelnya ya. :D
***
Novel
ini membuat saya banyak berpikir dan berkata, “Ah, iya juga ya.” Saking
seringnya ada bagian-bagian yang mirip dengan kejadian yang ada di sekitar
saya. Ada orang yang dijodohkan seperti Saka karena tak kunjung punya calon
mantu. Ada juga yang sedih dan takut setiap kali melihat sosok sang ayah.
Adhitya Mulya mengemas cerita ini sehingga dekat dengan realita. Yang
terpenting adalah bukan saja sebuah cerita ini bisa diambil hikmahnya tapi juga
bisa diterapkan dalam kehidupan para orang tua yang memiliki masalah yang sama.
Tak
heran novel ini sudah masuk cetakan ke-22 dan akan ditayangkan dalam bentuk
film dalam minggu ini. Saya pikir inilah yang dibutuhkan oleh masyarakat kita
saat ini, keteladanan dari seorang ayah yang mau membagi kisah hidupnya semasa
muda dengan anak-anaknya. Agak anaknya bisa menemukan sosok yang tepat untuk
bisa berbagi cerita baik suka maupun duka.
“Kembangkan bakat kalian, apa pun itu. Luangkan waktu untuk
semua itu. Tapi satu aja, jangan lupa sama tiketnya. Jangan lupa belajar. Bapak
sayang kalian.” (hlm.52)
Saya
jadi ingat obrolan dengan seorang teman yang bilang bahwa sosok ayah kerap
hilang dalam masyarakat Indonesia. Orang tua keras mendidik anak perempuannya
untuk jadi anak yang berbakti dan calon istri shalihah, tapi ironinya anak
laki-laki tak dididik dengan cara yang sama sehingga kelak ia akan tahu
kewajibannya. Inilah yang ingin diungkapkan oleh Adhitya Mulya bahwa anak-anak
lelaki pun perlu dididik dengan caranya sendiri. Mereka suka main, seperti
cerita kepahlawanan yang ditunjukkan Rissa, istri Satya ketika ia mengajak
anaknya bermain. Anak-anak lelaki suka main layangan, mereka bisa juga kena
bullying dan jika tidak ada basic kedekatan dengan keluarga kelak ia akan menjadi penyendiri, kesulitan menyelesaikan masalahnya dan tidak bisa membela dirinya sendiri jika bermasalah di luar.
Begitu
pun yang dilakukan Satya, ia mulai belajar bagaimana caranya berkomunikasi
dengan anaknya lewat video-video bapak. Saat bapak kecil ia diajari untuk
berkelahi demi membela diri. Bapak juga sosok yang sangat detail mempersiapkan
keluarganya. Katanya, sebelum ia meninggal ia harus memastikan bahwa
keluarganya tidak akan terlantar dan meminta-minta belas kasihan orang. Itu
sebabnya Bu Itje sangat mandiri dalam mendidik anak-anaknya dan sukses menjadi
pengusaha warung nasi di Bandung yang sudah memiliki banyak cabang. Anaknya
juga dididik untuk bermimpi setinggi mungkin dan merencanakan dengan baik
setiap impian tersebut.
“Bapak minta kalian bermimpi setinggi mungkin. Dengan syarat,
kalian merencanakan dengan baik. Bapak minta kalian bermimpi setinggi mungkin.
Dengan syarat, kalian rajin dan tidak menyerah. Bapak minta kalian bermimpi
setinggi mungin. Tapi mimpi tanpa rencana action hanya akan membuat anak istri
kalian lapar. Kejar mimpi kalian. Rencanakan. Kerjakan. Kasih deadline.” (hlm.
152)
Saya
jadi teringat dengan kisah Cakra yang berdiskusi dengan Ayu tentang empat hal
yang dipesankan bapak dalam rumah tangga. Salah duanya adalah dialog ini.
“Pemimpin keluarga macam apa yang minta istrinya percaya sama
suami, tapi dia sendiri menyembunyikan nafkahnya. Nafkah suami itu hak
keluarga, lho. Di keluarga saya, saat seseorang menjadi kepala keluarga, dia
bertanggungjawab lahir batin akan kecukupan dan kebahagiaan keluarga. Sekarang
dan nanti.” (hlm. 225)
“Pasangan ideal sih harusnya terbalik. Laki, atau perempuan
yang baik itu, gak bikin pasangannya cemburu. Laki, atau perempuan yang baik
itu... bikin orang lain cemburu sama pasangannya.” (hlm. 228)
Novel Sabtu Bersama Bapak ini tidak hanya berkisah seputar keluarga namun juga tentang pencarian jodoh.
Saya rasa Adhitya Mulya sudah mengonsep kisah ini menjadi lebih baik dibanding
novel-novelnya yang lain. Terlihat dari antusiasme pembacanya yang sampai
membuat buku ini layak dijadikan film. Yang paling saya suka, selain kisah
perjuangan bapak membersamai kedua putranya dan istrinya selepas ia meninggal,
novel ini juga disisipi kisah konyol ala-ala Cakra. Meski nggak semuanya layak
dibaca sama anak remaja. Soalnya ini ada guyonan 21+. Overall, 4 bintang buat
novel ini. Lucu, menghibur dan mendidik. Saya kangen Cakra yang cerdas, lucu
tapi gila. Hahaha =))
jd gitu ya, aku jg penasaran sma novel ini. next time cari ah
BalasHapuseh, jiah jadinya udah baca ya? hehe
HapusAku suka banger baca novel ini. Bikin baper.
BalasHapusIya, bun. Novelnya bagus banget. :D
HapusAku penasaran dan pengen baca novel ini mba :D
BalasHapusBuku bagus, mba Rohmah. Ayo baca :D
HapusHallo, Mbak Ila. Apa kabar? Lama nda BW ke sini. Udah lama gak gabung2 sm anak2 blogger yang lain. Mgkn Mbak Ila udah lupa. Hehe, soalx sy udh lama ngilang. Btw, udah pke domain sndiri ya. Cieee.
BalasHapusTtg novel ini, ning juga baru mau nulis, tp lgi baca2 beberapa artikel ttg buku ini sbgi bahan referensi.Eh, dpt blogx mbak Ila.
Novelnya bagus. Bisalahhh dijadikan bahan referensi utk berumahtangga nanti. Hehe...
Bgus resensinya, Mbak. Sukaaa... >.<
Hai, mba Ning, maaf baru baca komentar mba. Alhamdulillah, kabar baik, hehe. Mba ning gimana?:D Makasih udah suka resensiku, semoga bermanfaat ya. Hayuk nulis lagi, mba. Semangatt~ hehe
HapusPunya novelnya tapi males bikin sinopsis buat tugas, soalnya ini cerita yg tak bisa terjabarkan dengan kata kata. Keren banget
BalasHapushehe iya, ceritanya mellow yellow gitu yak :D
HapusTiap kali mau beli novel ini selalu kehabisan. Udah nunggu lama, melihat konsep parenting Adhit dan Ninit yang cukup asik.
BalasHapussemoga segera punya bukunya ya, mba Esthy. buku bagus nih, sampe cetak ulang berkali-kali :D
Hapus