Judul Buku :
Passion Stories
Penulis : Qalbinur
Nawawi
Penerbit :
Metagraf
Terbit : Cetakan
Pertama, Mei 2017
Tebal : 158 hlm.
ISBN :
978-602-6328-28-1
Rating : 4/5
bintang
Bisa dibeli di ParcelBuku.net
Passion
menjadikan seseorang mampu dan mau mengejar apa yang menjadi impiannya. Tidak
setiap orang paham passion mereka. Ada orang yang hidup dengan passion, ada orang
yang lebih memilih untuk berjalan mengikuti arus. Hingga impian yang ingin
diraih pun terlupakan seiring waktu.
Dalam
buku Passion Stories ini, ada 10 kisah sukses orang yang mengejar
passion mereka dan mendapatkan hasil dari ketekunannya. Cerita hidup orang sukses
seringkali berliku dan terjal hingga akhirnya mereka ada di posisi sekarang.
Tidak mudah untuk mendapatkan hasil yang terbaik apalagi jika tidak dibarengi
dengan ketekunan, pantang menyerah dan skill yang mumpuni.
Kecintaan
pada bidang yang digelutilah yang membuat seseorang menjadi orang yang tabah
untuk berproses. Melewati rintangan yang ada di hadapan untuk mengejar apa yang
diinginkan. Mereka tak hanya menjadi penggembira di tengah riuhnya arus tren,
tapi menjadi pusat perhatian dan tren setter. Mereka paham passion yang
membuat diri bertahan dalam berproses dan mau melewati suka duka.
Ada
3 orang yang saya suka dengan filosofi hidup dan kisah sukses yang diceritakan.
Yaitu : Dion Wiyoko, Arbain Rambey, dan Dewi Dee Lestari.
Kisah
pertama adalah Dion Wiyoko. Awal saya berkenalan dengan karya Dion Wiyoko
adalah saat menonton film Cek Toko Sebelah, Winter in Tokyo, dan short movie
Sore : Istri dari Masa Depan. Terlihat dalam karyanya bahwa Dion Wiyoko belajar
untuk meningkatkan skill yang ia miliki dengan terus belajar dari rekan
kerjanya, bahkan Dion pernah belajar akting dari acting coach.
Saat
saya menonton akting Dion Wiyoko di Winter in Tokyo yang berperan
sebagai Kazuto, ia mampu berakting natural dan tidak canggung saat harus
mengucapkan dialog dengan bahasa Indonesia sesuai EBI dan bahasa Jepang. Saya
mengira akan kecewa saat menonton filmnya, tapi ternyata saya suka dengan pembawaan
Dion yang mampu membuat suasana menjadi cair meski kalimat yang ia pakai dalam
dialog adalah kalimat baku. Well ya, Dion membuat film ini seperti visualisasi
novelnya. Juara bangetlah!
Saat
saya menonton short movie Sore, Istri dari Masa Depan. Saya bisa tertawa
sekaligus sedih saat melihat Dion Wiyoko mendalami tokoh yang diperankannya.
Tak hanya itu, di film Cek Toko Sebelah terasa juga soul Dion yang mampu
memerankan seseorang yang memiliki Passion di bidang fotografi dan
memperjuangkan passion tersebut di hadapan sang ayah.
Dion
Wiyoko menjadi selebriti yang iconik karena skill fotografinya yang nggak
main-main. Siapa bilang bahwa ia hanya bisa berakting? Kini ia pun bisa
mendulang rupiah dari brand yang mengajak dirinya untuk aktif menjadi influencer
di socmednya. Dion Wiyoko ingin dikenal dengan karyanya, bukan dengan sensasi.
Ia selalu mengambil ilmu dari setiap project yang dibuatnya. Dari
pengalaman yang diperoleh maka nanti ia akan mendapatkan “tabungan” relasi,
ilmu, dan image baik pun terbentuk secara perlahan.
Baca juga : [Resensi Buku] Winter in Tokyo - Ilana Tan
Dalam
buku Passion Stories, penulis menanyakan pada Dion Wiyoko perihal
ketertarikannya pada dunia akting.
“Pokoknya, saya menjalani karier di dunia showbiz dari nol, deh. Casting ke banyak tempat, dan banyak juga nggak diterima. Dua tahun saya nggak diterima. Pas dapat job foto catwalk pun catwalk yang fun, soalnya tinggi saya tanggung.” (hlm. 47)
Dion
Wiyoko terus mengasah kemampuan actingnya dengan tekun hingga satu per satu job
di dunia entertain berdatangan, meski awalnya ia ingin berhenti karena ragu
dengan kemampuannya. Namun ditunjang dengan semangat, ia pun mulai me-maintenance
karirnya hingga sampai ke tahap ini.
“Kalau saya punya visi dan misi yang jelas dan positif, kenapa harus berhenti? Sekali pun sulit dan banyak halangan, kalau kita usaha, oleh Tuhan pasti dikasih jalan terus.” (hlm. 48)
Menurut
Dion Wiyoko,
“Passion itu adalah salah satu faktor yang bikin saya nyaman—apa pun yang saya kerjakan. Baik untuk pekerjaan yang fun maupun yang serius. Dan apakah passion cukup membuat jadi sukses? Jawabannya tidak. Sebab, percuma kalau kamu punya passion, tapi kamu nggak punya kegigihan, nggak punya semangat, dan nggak mau kerja keras.” (hlm. 50)
Untuk
kisah sukses Arbain Rambey, penulis mewawancarai fotografer kondang tersebut
dan mendapatkan banyak insight. Arbain Rambey mengatakan bahwa “dari
pengalamannya, ia paling enak itu bekerja dari apa yang ia sukai.”
Passion
membuat Arbain Rambey mau menerima tantangan dan peluang yang ada. Aha moment
yang didapatnya adalah saat ia berpindah dari wartawan tulis ke divisi
fotografi Kompas. Siapa sangka ternyata peluang itu yang membawanya sukses
hingga kini menjadi fotografer handal. Arbain Rambey ingin berpesan pada orang
yang ingin menjadi fotografer bahwa
“Passion itu sesuatu yang kita sukai dan kita senangi. Bila seseorang mau jujur sama diri sendiri, bertanya kepada hati mereka semua orang bisa kok mengetahui apa passion-nya. Tapi, karena ambisi orang tua, kadang passion kita jadi tertutup. Bisa seseorang sudah punya passion terhadap suatu bidang, saat menemui halangan, dia tidak akan mudah “meleleh”.” (hlm. 70)
Arbain
Rambey juga memberi nasihat bagi fotografer yang ingin menang dalam perlombaan.
“Kalau ingin karyamu menonjol, buatlah dengan melawan arus. Bila hasil karya kamu berbeda menarik, kamu bikin tren. Kalau karyamu sekadar bagus aja, ya sama aja dengan yang lain. Kuncinya kamu melawan aturan. Misalnya saya pernah memotret cewek. Kalau saya perhatikan fotonya secara utuh, terlihat biasa saja. Tapi kalau saya potong setengah, dia malah jadi lebih menarik. Jadi, ketika karya kamu nyentrik, kamu bisa dilihat juri.”
Yang
ketiga adalah Dewi Dee Lestari. Siapa yang tak kenal dengan penulis best
seller ini? Buku-buku Dee selalu diriset dengan detail dan membutuhkan
jangka waktu yang lama untuk terbit. Ia selalu menargetkan bahwa ia harus mengeluarkan
karya terbaiknya setiap 1,5 tahun.
Keseriusan Dee menekuni dunia menulis
berawal dari keinginannya untuk menerbitkan buku yang bisa menampung karyanya.
Karya Dee tidak mendapat ruang karena panjang cerita terlalu pendek jika
dijadikan novel, tapi terlalu panjang untuk disebut cerpen. Sehingga lahirlah
novelet Madre. Saya suka dengan ide-ide yang diceritakan Dee dalam novel,
novelet dan kumcernya. Dee memiliki keunikan ide yang mampu membuatnya menjadi
penulis yang berbeda dibanding penulis lain.
Baca juga : [Resensi Buku] Madre - Dee Lestari
Dee
juga memiliki timeline menulis yang jelas kapan harus menulis, kapan
riset, kapan mengumpulkan bahan untuk tulisannya, dan membuat karakter yang
kuat untuk setiap karya yang dihasilkan. Dee ingin membuktikan bahwa menulis
bisa menghasilkan uang dengan menulis secara produktif. Passion dalam menulis
membawanya hingga sukses menjadi penulis best seller yang diperhitungkan
di dunia literasi Indonesia.
Kisah
Dewi Dee Lestari mengingatkan saya pada tokoh Han Se Ju dalam drama korea
Chicago Typewriter. Ia mampu dan mau untuk menyisihkan waktunya untuk menulis
dalam jam-jam yang sudah ditentukan. Tujuannya apa? Agar ia mampu memenuhi deadline
menulis yang ia buat. Waktu 1,5 tahun bukan waktu yang lama karena naskah yang
masuk penerbit membutuhkan waktu yang tak sedikit hingga akhirnya aksara tersebut
bisa mewujud dalam bentuk buku.
Menurut
Dewi Dee Lestari,
“Passion itu minat yang dilakoni dengan semangat. Passion memotivasi kita untuk belajar dan menggali juga untuk mencoba lagi meskipun sempat tersandung dan gagal.”
Buku
Passion Stories ini juga menampilkan kisah lainnya dari Taufik Hidayat,
Sandiaga Uno, Umar Syarief, Rinni Wulandari, Dewa Budjana, Hendy Setiono, dan
Wulandari Herman. Buku ini menyuguhkan sisi unik dari para public figure.
Dibalik kisah hidup mereka terdapat passion yang melatarbelakangi tujuan hidup
mereka untuk terus berkarya yang terbaik bagi Indonesia.
Buku Passion Stories dimuat dalam format wawancara sehingga penulis bisa menggali lebih banyak
kisah dan aha moment yang pernah dialami narasumber. Menurut saya, isi
ceritanya unik dan semangat mereka mengejar passion patut diteladani oleh
siapapun yang percaya dengan impian.
Kekurangan
buku ini hanya di bagian sampul, penerbit lebih memilih untuk menerbitkan buku
inspirasi ini dengan cover ala tokoh game. Sayangnya menurut saya ini kurang
menarik di mata pembaca. Ya, saya tahu bahwa untuk mendapatkan izin dari public
figure yang diwawancarai untuk dibuat sampul wajah mereka di cover buku memang
sulit. Mengingat biasanya management yang menaungi nama mereka akan ketat dalam
proses deal jika ada product yang dipasarkan menggunakan embel-embel nama
mereka, karena berhubungan dengan royalti juga. Saya
ingat dulu seorang teman susah sekali meminta endorsment Sheila on 7 bagi cerpen Nulis Buku
Club untuk project Tribute to Sheila on 7. Karena terkendala hal itu akhirnya
project batal diterbitkan.
Overall, buku Passion Stories yang
penuh inspirasi ini layak untuk dibaca olehmu yang ingin tahu lebih banyak
tentang passion. Kejar yuk passionmu, karena rezeki akan mendatangi siapa yang
terbaik di bidangnya. ;)
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung ya. ^_^