Judul Buku : Dua
Belas Pasang Mata
Pengarang : Sakae
Tsuboi
Judul Asli : Nijushi
no Hitomi
Penerjemah : Tanti
Lesmana
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Terbit : 2013
Tebal : 248 hlm.
ISBN : 978-602-03-0024-5
Sinopsis
:
Sebagai
guru baru, Bu Guru Oishi ditugaskan mengajar di sebuah desa nelayan yang
miskin. Di sana dia belajar memahami kehidupan sederhana dan kasih sayang yang
ditunjukkan murid-muridnya. Sementara waktu berlalu, tahun-tahun yang bagai
impian itu disapu oleh kenyataan hidup yang sangat memilukan. Perang
memorak-porandakan semuanya, dan anak-anak ini beserta guru mereka mesti
belajar menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Resensi
:
Dua
belas Pasang Mata berkisah tentang anak-anak sekolah tanjung yang diajar oleh
Bu Guru Oishi yang dijuluki Oishi-Koshi. Sejak awal Bu Guru Oishi yang bertubuh mungil ini banyak menarik
rasa penasaran anak-anak juga seluruh penduduk desa tanjung karena
penampilannya yang kebarat-baratan. Dahulu kala di sana belum ada modernisme
sehingga memakai pakaian gaya barat dan menggunakan sepeda dianggap sebagai
kebarat-baratan. Bu Guru dikucilkan oleh warga tanjung, bahkan tidak disapa
hingga akhirnya mereka mulai menyadari bahwa guru ini bisa membawa perubahan
pada anak-anak. Siapa lagi yang akan mengajar kedua belas anak yang masuk kelas
1 jika bukan perempuan itu? Maka dimulailah kisah ini.
Bu
Guru Oishi menjalani kehidupannya sebagai guru dimulai dari pagi hari saat ia
melintasi jalanan yang berkelok-kelok. Jalanan dari desanya di desa pohon pinus
ke desa tanjung dekat teluk terletak sejauh 8 km dilalui bolak balik setiap
hari. Ia terpaksa menggunakan sepeda untuk mempercepat waktu agar ia sampai di
sekolah lebih awal, bukan karena ia kebarat-baratan. Karena kebiasaan bersepeda
ini, tanpa sadar telah membuat anak-anak desa tanjung segera berlari setiap
kali melihat sepeda bu guru melintas di jalanan desa menuju sekolah.
Dua
belas anak yang diajar bu Guru Oishi memiliki julukan masing-masing. Bahkan
mereka mulai merasa nyaman dengan gurunya karena sang guru senang mengajar
musik. Banyak kejadian lucu dan seru yang terjadi selama bu Guru Oishi mengajar
di kelas mereka. Kadang pelajaran ada di
luar ruangan seperti pantai dekat teluk. Sayangnya kejadian tidak mengenakkan
datang, kaki bu guru Oishi cedera hingga ia tak bisa pergi kemana-mana.
Akhirnya ia dibebastugaskan dari tugas mengajar. Kelas digantikan oleh kepala
sekolah.
Karena
sakit, bu guru Oishi tidak bisa mengajar berbulan-bulan. Atas inisiatif seorang
anak, mereka berdua belas pergi menuju desa pohon pinus yang jaraknya jauh
sekali. Mereka mengira jaraknya dekat karena pohon pinus tampak jelas di desa
tanjung. Tak disangka inilah pengalaman paling berharga yang dimiliki anak-anak
tentang gurunya itu. Mereka mengingat dengan jelas bagaimana jalanan itu tampak
teramat jauh dijangkau oleh kaki-kaki kecil mereka. Mereka juga mengigat dengan
jelas rasa bakmi yang diberikan oleh ibunya ibu guru Oishi, juga rasanya
berfoto pertama kali dengan wajah tegang.
Tahun-tahun
berlalu, kehidupan tak semudah yang dibayangkan. Ada banyak hal yang harus
terjadi seperti depresi yang melanda warga di desa seluruh Jepang termasuk di
desa tanjung dan desa pohon pinus. Semua orang mengalami hal yang menakutkan
setiap hari. Laki-laki ditugaskan untuk berangkat ke medan perang sedangkan
perempuan kehilangan anak laki-laki dan suami mereka hingga menjadi janda.
Semua
orang mengalami musim paceklik hingga harus merasakan makan roti gandum yang
ditumbuk sendiri. Bahkan ikan tidak mudah didapat di saat-saat sulit. Penyakit
merajalela hingga merenggut nyawa salah satu murid dan anak bu Guru Oishi.
Dokter sulit dicari. Bahkan ada anak yang dijual kepada orang kaya demi agar bisa
mendapatkan uang. Semua kengerian itu bermula dari serangan udara yang
dilancarkan pihak asing hingga masa-masa perang berlangsung lama. Apakah ini
akan berlangsung lama? Bagaimana anak-anak desa tanjung bisa terus melanjutkan
pendidikan mereka? Apa yang terjadi pada kehidupan bu guru Oishi setelah
perang?
***
Sepuluh
bab dalam novel ini membuat kisah ini menjadi lebih menyentuh sisi kemanusiaan.
Novel ini diklaim sebagai novel anti perang yang tidak ingin menonjolkan
sisi-sisi kelam perang. Ia hanya menunjukkan bagaimana pengaruh perang terhadap
kehidupan orang-orang setelahnya. Bahkan meski perang sudah usai, semua hal
yang sudah terjadi selama perang mengubah banyak hal termasuk masalah
pendidikan dan kesehatan.
Sakae
Tsuboi menuliskan kisah ini dalam sudut pandang kanak-kanak yang polos dan guru
yang anti perang sehingga terasa jelas bagaimana anak-anak menjalani hari dengan
riang dan bahagia meski perang berlangsung. Kedua belas anak mencerminkan
anak-anak dengan beragam latar belakang keluarga. Ada yang anak nelayan, anak
orang kaya, tukang kayu bahkan pengangkut barang. Semuanya berkumpul jadi satu
dalam satu kelas. Sakae Tsuboi ingin memberikan gambaran bagaimana hidup semasa
perang tidaknya semudah yang dibayangkan. Ia tak ingin perang berlangsung lagi
di kehidupan baru nanti.
“Apa sebenarnya Merah itu? Kenapa aku dianggap Merah, padahal aku tidak tahu apa-apa tentang Komunisme?” (hlm. 160)
“Lebih baik membuka toko permen murah, atau apalah, daripada mengajar. Aku sudah muak dengan pendidikan sekolah yang jingoistik.” (hlm. 161)
“Coba lihat diriku. Aku sudah mengajar murid-muridku sejak kelas satu, tapi sekarang lebih dari setengah murid lelaki malah ingin menjadi tentara. Kalau begitu, apa gunanya mengajar.” (hlm. 161)
“Perang dengan China telah berkobar; Pakta Anti-Komitmen antara Jepang, Jerman, dan Itali telah terbentuk. Gerakan yang disebut “Mobilisasi Semangat Nasional” telah berlangsung; orang-orang diajar untuk tidak membicarakan politik waktu sedang tidur sekalipun, melainkan untuk menghadapi peperangan itu dengan gagah berani dan meyakini tujuan mulianya, serta membuktikan diri sepenuh jiwa-raga ke dalamnya Mereka terpaksa berbuat demikian, sebab akan sangat sulit menyembunyikan dan berusaha menyisihkan ketidakpuasan mereka sendiri.” (hlm. 174)
Dari
berbagai dialog yang terjadi antara Mrs. Oishi dengan anak-anak didiknya dan
keluarganya, beberapa menyentak nurani. Bahasan tentang perang terasa memilukan
bagi orang yang pernah ada di tengah perang. Sakae Tsuboi menulis kisah ini tahun
1952 setelah ia pindah ke Tokyo. Sedangkan perang yang dimaksud di novel ini
baru berakhir setelah terjadi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang membuat
Kaisar menyerah pada pihak asing tahun 1945. Perang yang dimaksud di Jepang
juga berpengaruh pada Indonesia. Hanya saja penulisnya tidak membahas tentang
ini. Ia lebih berfokus di kisah tentang anak-anak desa tanjung dan bu guru
Oishi.
“Ibu, kita kalah perang. Ibu belum dengar beritanya di radio?”
“Ibu sudah dengar. Tapi pokoknya perang sudah berakhir. Bukankah itu bagus?”
“Walaupun kita kalah?”
“Ya. Mulai sekarang, tidak akan ada lagi yang mati di medan perang. Orang-orang yang masih hidup akan pulang.” (hlm. 199)
Novel
yang ditulis Sakae Tsuboi ini membuat pembacanya larut dalam kisah anti perang
dan kisah pendidikan anak-anak desa tanjung. Meski alurnya agak membosankan
karena berjalan lambat tapi cara bercerita Sakae Tsuboi membuat saya jadi lebih
paham bagaimana karakter para tokohnya. Deskripsi tempatnya juga detail. Novel
ini bahkan telah diadaptasi menjadi film pada tahun 1954, tapi sayangnya saya
belum nemu filmnya di youtube. Dan untuk menghormati karyanya, Prefektur Kagawa
menetapkan Sakae Tsuboi Prize untuk anak-anak dari prefektur tersebut.
Twenty Four Eyes Movie (Doc : http://i2.listal.com/image/5275622/600full-twenty--four-eyes-screenshot.jpg) |
Foto Sakae Tsuboi (doc : http://soukovs.review/ebook/5259548-dua-belas-pasang-mata.html) |
Saya
baru tahu bahwa Jepang sebegitu besarnya menghargai para guru usai perang
selesai setelah membaca novel ini. Karena di tangan para gurulah kehidupan
anak-anak sekolah dimulai kembali. Pendidikan akan mengembalikan apa saja selain nyawa manusia yang telah direnggut
paksa oleh kekejaman saat perang berlangsung. Overall, 4 bintang untuk
kisah di novel ini.
Postingan ini diikutsertakan dalam Project Battle Challenge #31HariBerbagiBacaan
Guru di Jepang sangat dihargai ya mbak perjuangannya, pantes mereka lebih "menghargai" akan proses ya :)
BalasHapusWah, menyentuh sekali mbak ila, padahal baru baca sinopsis nya aja. Aku udah lama banget ga baca buku
BalasHapusMelihat foto terakhir dan kisah ibu guru ini. Yang terbayang latar setting cerita di novel mirip serial Oshin hihihi...gitu kah mba? #cmiiw
BalasHapusAduh, mba kiky rajin baca euy. Aku jd malu, hihi. Ini mba bilang alur ceritanya lambat tp ttp dibaca sampe habis. Kalo aku pas pingin baca, dpt buku yg alurnya lambat, biasanya berenti :D
BalasHapuswow ikut challenge 31 hari berbagi bacaann yah Mbak Kiky? Keren!
BalasHapustaste bacannya juga keren:D
Da aku mah apa atuh senengnya baca noval pop romance hehehe. Semoga sukses yah menyelesaikan challengenya mbak:D
menarik sekali novelnyamba. Novel seperti ini bisa memacu semangat anak2 untuk giat belajar dan tahu tentang sejarah ya
BalasHapusWah, novelnya bagus banget, Mba Ila. Jadi ingin punya bukunya dan menyelam di dalam arus bacaannya. :)
BalasHapusJepang sangat menghrgi guru, seingetku pernah bca saat perang usai yg pertama kali dilakukan pemerinth Jepang adalah mengumpulkan para guru yang tersisa.
BalasHapusJd penasaran sama bukunya TFS :)
ceritanya lengkap Ila, bacanya ampe panjaang..
BalasHapusiya bener seorang guru di jepang begitu dihargai, jadi penasaran sama sosok nu bu guru yang kebarat-baratan ini.
Huhu, envy sama Mba Ila yang masih punya target baca buku T.T
BalasHapusJadi ini udah ada filmnya juga ya Mba? Pengen nonton deh. Tapi kok nggak ada di Youtube ya, apa udah ditarik apa gimana ys?
cerita yang menyentuh, aku ga suka kekerasan, perang dan lain2 yang ada pertumpahan darahnya :(
BalasHapussemoga bumi bebas dari perang.
Bagian sakit kakinya jadi inget Alm. Mamaku.. mamaku guru juga, sebelum meninggal kakinya cidera sampe gak masuk berhari-hari, ternyata baru ketauan kalau patah tulang.. *jadi curhat* :D
BalasHapusBaca sinopsisnya jadi penasaran seperti apa kehidupan guru di Jepang sama kehidupan di desa-desa di Jepang. Karena selama ini yang banyak tahu Jepang itu negara maju dengan segala gemerlapnya khususnya di Tokyo.
BalasHapusAku pernach dpet spoiler ttg cerita ini. Tpi blum bca keseluruhan ceritnya. Pnasaran sma B guru Oishi..
BalasHapusTFS ya mbak. ... hee
waah cerita bagus, seru, dan inspiratif yaa...tandain ah! Bu guru Oishi keyeen
BalasHapusSepertinya menarik banget!
BalasHapusaku jadi bayangin kek Indonesia mengajar dan program2 mengajar di daerah tertinggal gitu Mba.. ^^
baca resensinya sdh cukup menghanyutkan rasaku.. paling suka sama.cerita yg terwarnai antara guru dan murid kaya Toto Chan gitu
BalasHapusDduh, resensinya bikin sedih. Jadi kepengen beli bukunya.
BalasHapusAlhamdulillah, terims kasih sudah menyajikan sinopsis novel ini, luar biasa...bagus pembahasannya, membuat saya bernostalgia ke 25 tahun yg lalu, saat saya membaca novel ini pertama kali di perpustakaan Masjid Salman ITB. Hatur nuhun
BalasHapus