Judul Buku : Saga
No Gabai Baachan
(Nenek Hebat Dari
Saga)
Penulis : Yoshichi
Shimada
Penerbit : Pustaka
Inspira
Terbit : Juli 2013
Tebal : 255 hlm.
ISBN :
978-602-97066-2-8
Rating : 4/5
bintang
Sinopsis :
Akihiro
yang kehilangan ayahnya setelah Hiroshima dibom, terpaksa berpisah dari ibu
untuk tinggal bersama neneknya di Saga. Meskipun keluarganya hidup prihatin,
namun kehidupan di Saga satu peringkat lebih miskin. Tetapi sang nenek selalu
punya ratusan akal untuk meneruskan kehidupan dan membesarkan cucunya.
Dengan
ide-ide cemerlang sang nenek, kehidupan selalu mereka jalani penuh tawa. Sulit
memang, tapi menarik dan mengasyikkan. Namun waktu terus berjalan dan tibalah
hari ketika Akihiro harus mengambil keputusan. Dia harus memilih antara nenek
dan Saga yang dia cintai atau mengejar mimpi-mimpinya.
Diterjemahkan
langsung dari Bahasa Jepang oleh Indah S. Pratidina, buku ini akan membuat kita
tersenyum, terenyuh, dan mungkin berpikir ulang tentang nilai-nilai
kesederhanaan.
Dalam
waktu kurang dari satu tahun, buku ini telah terjual 100.000 eksemplar di
negeri asalnya. Kisah Nenek Hebat dari Saga begitu terkenal sehingga diadaptasi
dalam bentuk film, layar lebar, game maupun manga.
Resensi Buku :
“If
you wanna be happy, be happy NOW.”
Prinsip
hidup itu yang melekat pada karakter Nenek Osano, nenek dari seorang anak
lelaki bernama Akihiro. Akihiro dikirimkan oleh ibunya ke rumah neneknya di
Saga karena mereka miskin. Saking miskinnya, ia dijaga oleh induk semang setiap
kali ibunya bekerja memenuhi kebutuhannya. Mereka tidak punya tempat tinggal yang
layak, hanya sebuah kontrakan yang dibayar tiap bulannya.
Saat
di kereta menuju Saga, Akihiro menangis atas sikap ibunya yang mendorongnya
masuk ke dalam kereta. Padahal ia mengira bahwa ia hanya mengantar bibinya
untuk pulang. Namun saat Akihiro sampai di Saga, ia harus cepat belajar
beradaptasi dengan kehidupan miskin yang dijalani neneknya.
Akihiro
tinggal di gubuk yang reot dan minim penerangan saat malam hari. Ia masuk ke
dalam kehidupan miskin yang setingkat lebih rendah dari kehidupannya di
Hiroshima dulu. Bagi penduduk Saga, Hiroshima merupakan kota metropolitan.
Akihiro yang dulu memakai sepatu kulit bagus, beberapa waktu setelahnya ia
harus memakai sandal karena sepatu kulitnya
cepat rusak.
Neneknya
memiliki banyak pemikiran ajaib terkait dengan bagaimana cara mereka menjalani
kehidupan mereka yang miskin. Kalau sejak dulu miskin, mereka hanya punya
pilihan untuk menjadi miskin dengan cara yang lebih menyenangkan. Miskin yang
ceria.
“Ada dua jalan buat orang miskin. Miskin muram dan miskin ceria. Kita ini miskin yang ceria. Selain itu karena bukan baru-baru ini saja menjadi miskin, jadi kita tidak perlu cemas. Tetaplah percaya diri. Keluarga kita memang turun-temurun miskin.”
Banyak
barang yang tidak perlu mereka beli karena sudah tersedia di “supermarket”
ajaib di depan rumah. Supermarket yang dimaksud bukan pasar swalayan yang
sesungguhnya, melainkan sebuah sungai yang aliran airnya menghanyutkan beberapa
barang, termasuk makanan persembahan di dalam perahu yang dilarungkan, sayur mayur,
udang karang, ikan, bahkan sandal. Iya, sandal. :p
Si
nenek memiliki keyakinan bahwa jika ada orang yang kehilangan satu sandalnya,
maka dalam 3 hari jika tidak ditemukan, akhirnya orang itu akan membuang bagian
sandal satunya ke sungai. Jadilah mereka pun punya sepasang sandal yang
sebenarnya masih bagus. xD Sungguh pemikiran pelit bin medit. Hahaha.
“Pelit itu payah, hemat itu jenius.”
Ada
satu lagi ide nenek Osano yang membuat Akihiro terheran-heran. Pasalnya, si
nenek selalu pergi kerja sambil mengenakan tali yang ujungnya ditempeli magnet.
Jadi, jika magnet itu menempel pada sampah logam, maka pulangnya si nenek bisa
menjual besi itu ke pengumpul besi. Uangnya bisa digunakan untuk memenuhi
kehidupan sehari-hari. Hebat ya pemikirannya. xD
“Sungguh sayang kalau kita sekadar berjalan. Padahal kalau kita berjalan sambil menarik magnet, lihat, begini menguntungkan.”
“Menguntungkan?”
“Kalau kita jual, sampah logam lumayan tinggi harganya. Benda yang jatuh pun kalau kita sia-siakan, bisa dapat tulah.”
Ada
pemikiran sang nenek yang sungguh aneh. Karena ia bisa mendaur ulang barang
sampai tidak bersisa. Misalnya : tulang ikan yang biasanya hanya dibuang, ia
gunakan untuk sop.
“Terkadang, ada tulang yang sangat keras, yang tak mungkin aku kunyah. Ikan kembung rebus kecap asin pun, sehabis dimakan tulangnya akan dimasukkan ke mangkuk lalu disiram air panas. Dengan begitu, kami pun mendapatkan pengganti sup. Tapi ide nenek tidak berakhir di sini. Tulang yang tersisa akan dijemur hingga kering, untuk kemudian dicacah halus dengan pisau hingga menyerupai bubuk, selanjutnya dijadikan pakan ayam. Selain tulang, kulit apel ataupun bagian sayur yang agak cacat pun, dijadikan pakan ayam.” (hlm. 71)
“Benda yang didapat dari memungut sekalipun, belum tentu pantas dibuang.” (hlm. 71)
Ya
jadi si nenek akan berusaha untuk mendaur ulang apapun yang ada di alam dan di
sekitarnya. Ia tidak perlu mengeluarkan uang, justru alamlah yang memberinya
segala hal.
Selain
tentang idenya untuk berhemat demi memenuhi kebutuhan hidup, Nenek Osano juga
sering memberi nasihat ajaib untuk Akihiro. Seperti saat ia ingin berolahraga
namun tidak memiliki uang untuk beli baju dan peralatan olahraga. Maka sang
nenek justru memberi saran agar Akihiro berlari saja. Hemat dan tidak perlu
bayar. Ada lagi saat kejadian si nenek pengin beliin sepatu Spike termahal
sampe eyel-eyelan sama penjualnya. Duh, bikin mewek tapi juga pengin ketawa.
Wkkwk. Si nenek ada-ada aja. xD
Nah,
ini adegan yang epic dari dialog dengan si nenek ajaib. ;))
“Nenek, aku tidak mengerti Bahasa Inggris.”
“Kalau begitu, tulis saja ‘Saya orang Jepang’”
“Aku juga tidak suka huruf kanji...”
“Tulis saja ‘Aku hidup dengan Hiragana dan Katakana.”
“Sejarah juga? Tulis ‘Saya tidak suka masa lalu!’”
Kehidupan
Akihiro di sekolah berjalan lancar, ia menjadi kapten tim baseball seiring
berjalannya waktu. Banyak kejadian lucu, menggelitik, dan terharu berhubungan
dengan teman-temannya. Meski ia anak orang miskin, namun ikatan pertemanan
mereka begitu erat. Mungkin karena prinsip hidup untuk saling menolong satu
sama lain saat ada yang kesulitan membuat ia lebih dekat dan loyal dengan
teman-teman lelakinya. Bahkan ada temannya yang rela membawakan mochi, kentang
dan bawang bombay demi bisa memberi makanan lezat bagi sahabatnya, sampai
dimarahi oleh guru karena tasnya penuh dengan bahan makanan.
“Dulu moci, sekarang kentang. Sebenarnya apa tujuanmu ke sekolah?”
“Tokunaga-kun bilang dia belum pernah melihat kentang dan bawang bombay, Sensei, jadi saya bawakan.”
“Kalau hanya ingin memperlihatkan, kau cukup membawa sebutir, bukan?”
“Tokunaga-kun bilang dia mau melihat berbagai jenis kentang dan bawang bombay memang punya wajah yang berbeda-beda, bukan?”
Saat
ada teman perempuan yang menyukainya, Akihiro malah tidak berpikir tentang
konsep cinta saat remaja. Saking nggak sempetnya mikirin soal cinta-cintaan.
Hahaha. Pantes aja dia lebih berfokus ke prestasi olahraganya dibanding mikirin
perempuan yang naksir dirinya.
***
Anyway,
buku ini berupa memoar yang dituliskan oleh Akihiro sendiri. Dituturkan dengan
gaya bahasa anak-anak yang polos dan lucu, membuat saya ketawa setiap kali ada
adegan ajaib antara si nenek dan Akihiro, juga betapa polosnya Akihiro menjadi
anak-anak di zamannya. Saya jadi bisa belajar bagaimana kesederhaan mampu
membuat hati kita bahagia.
Saat
membaca buku ini saya diajak untuk menyelami lagi kehidupan masyarakat tanpa
gadget, seperti di era tahun 90 an. Banyak anak lebih memilih bermain bersama
temannya, menjalin pertemanan yang sesungguhnya. Jika dipikir-pikir saat itu
pun kehidupan orang Indonesia masih banyak yang di bawah garis kemiskinan. Jadi
kalau bisa makan dengan enak itu ya pasti anak orang kaya.
Tentang
Akihiro dan neneknya yang punya sungai sebagai supermarket, saya jadi ingat
sungai dekat rumah nenek saya yang airnya dulu masih jernih. Bahkan anak-anak sering
main air di sungai dan mencari ikan-ikan kecil untuk dibawa pulang. Ya, miskin
atau pun tidak, tergantung bagaimana cara kita menyederhanakan prinsip hidup. Menjalani
kehidupan dengan lebih banyak bersyukur agar bahagia. Mengambil apa yang ada di
alam, untuk kemudian mendaur ulang agar tidak merusaknya.
Dan
perihal persahabatan Akihiro dan Nenek dengan orang-orang di sekitarnya membuat
saya paham bahwa orang baik ada di mana-mana. Meskipun miskin, tapi nenek
memilih tidak meminta-minta. Ia mengusahakan hidup yang layak dengan tetap
bekerja dan mengambil dari alam apa saja yang bisa didaur ulang. Bikin terharu
deh. :’)
Bayangin
aja sayur yang biasa kita buang karena busuk sedikit, buat mereka bisa dipotong
yang busuk saja, sisanya yang masih bagus bisa dimasak. Saya kepikiran soal ini
deh. Betapa banyak barang mubazir yang kadang suka dibuang hanya karena sudah
tidak bisa dipakai. Padahal bagi orang lain yang membutuhkan barang itu
berharga sekali.
Banyak
kebaikan yang dialirkan pada nenek dan Akihiro lewat tangan orang-orang yang
baik, bahkan seperti kebaikan yang diberikan tukang tahu. Saya jadi mewek
bacanya pas tau apa yang dilakukan tukang tahu agar sang nenek bisa tetap beli dagangannya
tersebut setiap hari.
Overall,
4 bintang untuk buku biografi ini. ;)
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung ya. ^_^