The Railway Children (Anak-Anak Kereta Api)
Pengarang : Edith Nesbit
Alihbahasa : Widya Kirana
Penerbit : Gramedia
Terbit : Cetakan kedua, Juni 2010
Tebal : 312 halm.
ISBN : 978-979-22-5257-6
Roberta. Peter,
dan Phyllis hidup bahagia di Vila Edgecombe, tapi mereka tidak menyadari betapa
bahagianya mereka sampai sesuatu terjadi... sesuatu yang memaksa mereka
menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda.
Ketika Ayah
terpaksa pergi beberapa lama, ketiga anak itu bersama Ibu meninggalkan rumah
mereka di London dan pindah ke pondok kecil di pedesaan. Anak-anak itu mencari
hiburan di stasiun kereta api dekat pondok mereka dan berkawan dengan Pak
Perks, portir stasiun, dan bahkan juga dengan Kepala Stasiun. Tapi satu hal
tetap merupakan misteri : ke manakah Ayah dan akankah ayah kembali?
***
Novel klasik
yang ditulis Edith Nesbit ini awalnya saya beli karena penasaran dengan label
klasik bergambar mawar. Saya pernah membaca buku klasik era Victoria dan tak
pernah selesai membacanya. Karena penasaran, saya menghabiskan buku ini dalam
beberapa hari. Seperti yang seorang teman sarankan, jika buku klasik terasa sulit
dipahami, saya harus membacanya pelan-pelan, memberi jeda agar paham maknanya.
Edith Nesbit mengisahkan
Anak-anak Kereta Api. Bukan anak-anak yang bekerja di kereta api, tapi
anak-anak yang sering bermain di sekitar rel. Pusat kehidupan bermula dari
kisah yang dituliskan di tambang batubara kereta api. Di sanalah Edith
mengisahkan anak-anak yang kehilangan hidup nyamannya, mencari apa saja yang
bisa membuat mereka bisa bertahan hidup dengan keterbatasan.
Bobbie, Peter
dan Phyllis adalah tiga anak yang harus tinggal di pondok tiga cerobong dekat
rel kereta api, di sebuah bukit bersama ibunya karena sang ayah menghilang.
Dugaannya, ayah pergi ke London. Tapi sang ibu tak pernah mengatakan ayah ke
mana, meski seringkali anak-anak mengantarkan surat ibu untuk ayah ke kantor
pos.
Peter pernah
tertangkap oleh Kepala Stasiun karena mengambil batubara untuk mengisi perapian
rumahnya. Ia mengira rel kereta api adalah tempat menambang batubara secara
gratis. Setelah tahu kesalahan yang dibuatnya, Peter minta maaf pada Kepala
Stasiun. Namun, sejak itu Peter merasa bersalah, kedua saudaranya juga kadang
mengungkit masalah itu hingga suatu hari Peter bertemu dengan Kepala Stasiun.
Lelaki itu memaafkan Peter dan tak mengungkit hal itu lagi. Peter pun ceria
lagi.
Anak-anak pondok
tiga cerobong yang dikenal pemberani, mengalami banyak hal selama tinggal di
daerah yang sunyi itu. Mereka berkenalan dengan Pak Tua, membantu menghentikan
kereta api yang hampir bertabrakan, memberi bantuan pada Tawanan Rusia yang
tersesat, juga seekor 'anjing berkaus merah'.
14 bab di novel
ini memberi makna tentang kebijaksanaan hidup lewat cara pandang anak-anak.
Penulisnya bahkan menyelipkan tentang bagaimana cara agar anak-anak bisa
belajar bersimpati pada tahanan dan korban ketidakadilan. Suatu tema yang ‘ekstrim’
menurut saya karena biasanya tema seperti ini cukup berat dijabarkan. Namun di
tangan Edith Nesbit, novel ini memberi penyegaran bagaimana memberi tahu
anak-anak perihal situasi yang rumit namun dengan cara yang halus.
Anak-anak pun
jadi lebih tahu tentang seluk-beluk kereta api, menulis dan kedokteran yang
dijelaskan lewat pertemuan ketiga anak itu dengan tokoh-tokoh lainnya. Anak-anak
bisa belajar tentang kemandirian, keberanian, kejujuran, harga diri, arti persahabatan
dan saling memaafkan.
“Kita tidur di rumah baru, ya kan? Ingat,
nggak? Tak ada pelayan, dan sebagainya. Yuk, bangun. Kita tunjukkan bahwa kita
anak-anak yang bisa diandalkan. Kita turun pelan-pelan, merayap tanpa bunyi
seperti tikus. Kita bereskan dan kita siapkan semuanya sebelum Ibu bangun. “
(hlm. 33)
“Nah, dengar, Sayang. Kita memang miskin,
tapi kita masih punya cukup uang untuk hidup. Kalian tidak boleh menceritakan
kesulitan kita pada siapa pun – itu keliru. Dan kalian tidak boleh, sama sekali
tidak boleh, meminta sesuatu pada orang asing yang tidak kalian kenal. Ingat
kata Ibu! Janji?” (hlm. 79)
“Anda tak perlu menyuap kami agar kami mau
tutup mulut!” (hlm. 264)
“Tidaklah lebih baik kalau kita bayangkan
diri kita sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditulis oleh Tuhan? Kalau Ibu yang
menulis cerita, mungkin Ibu akan membuat kesalahan. Tapi kalau Tuhan yang jadi
Sang Pengarang, Tuhan tahu bagaimana mengakhiri sebuah cerita dengan
sebaik-baiknya – yang terbaik bagi kita semua.” (hlm. 284)
Dari sudut
pandang yang diambil oleh Ibu, pembaca bisa belajar menjadi ibu yang bijak
dengan segala kebaikan hati dan kelebihannya. Ibu pandai bercerita, menulis,
berbahasa asing dan berpantun. Hal yang menjadi kelebihan dari tokoh Ibu ini,
karena biasanya ibu-ibu jarang ada yang bisa kan ya :D hehe. Overall, 4 bintang
untuk kisah petualangan yang mengagumkan. ;)
Suka banget dengan quote terakhir, La. Dengan kelebihannya, si ibu bisa menyisipkan nilai-nilai yang baik untuk anak-anaknya.
BalasHapusIya, mba Phie. Bukunya bagus. Jadi pengen koleksi buku klasik lainnya, hehe
Hapus