Judul Buku :
Ta'aruf dalam Sunyi
Pengarang : Diana
Fitria
Penerbit : Clover
Terbit : Cetakan
Pertama, 2020
Tebal : 304
halaman
Genre : Novel
Islami (U 13+)
ISBN :
978-6230302114
Rating : 4/5
bintang
Harga Buku : Rp
89.000
Beli di
Gramedia.com
Sinopsis Buku :
Karena pacarnya terjerat kasus narkoooo---boooyyy, orang tua Fatimah memasukkan gadis manja itu ke Pesantren As-Salam agar ia tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Fatimah pun menjalani kesehariannya sebagai seorang santri di sebuah tempat asing yang bahkan mengharuskannya untuk mencuci baju sendiri!
Namun, seiring berjalannya waktu, ia pun mempelajari banyak hal yang tak pernah ia sangka sebelumnya. Tentang persahabatan, kesederhanaan, dan cinta dari seseorang yang spesial; Azmi Iskandar.
Resensi Buku :
Novel bertema ta’aruf sangat jarang ditemukan setelah era kejayaan novel Islami seperti Ayat-ayat Cinta maupun Ketika Cinta Bertasbih. Apalagi temanya dibahas dengan sangat bagus dan menarik. Memang tema yang diangkat sangat sensitif, terlebih menyangkut pesantren jawa yang kental dengan adat dan tradisi yang sangat menjunjung tinggi kemuliaan Islam.
Saat saya membaca novel Ta’aruf dalam Sunyi ini, novel ini mengangkat tema pesantren dan dunianya. Berbagai pertanyaan tentang isu pesantren berusaha dijawab oleh penulis. Meskipun seperti judulnya, ta’aruf ini tidak seperti ta’aruf pada umumnya.
Ta’aruf yang ditunjukkan di novel ini menampilkan taaruf yang berbeda, yang bisa dibilang akan membuat pembaca bertanya, “Di mana sisi islaminya? Masa ta’aruf kaya gini?” Nah lho... iya memang. Novel ini berusaha menampilkan sisi lain kisah cinta manusia yang dibalut dengan kemuliaan islam. Bagaimana para tokoh berusaha berjuang untuk mempertahankan dirinya dari hawa nafsu dunia perihal cinta yang belum halal.
Kisah cinta di pesantren seringkali berbenturan dengan aturan yang ketat. Masalahnya, di pesantren tidak boleh ada khalwat atau berduaan dengan lawan jenis. Lalu, bagaimana orang akan menemukan jodoh terbaiknya bila bertemu saja sulit? Nah, inilah yang berusaha dijawab oleh penulis. Kisah cinta di pesantren yang sarat dengan aturan ternyata mampu ditampilkan dengan baik.
Dalam novel Taaruf dalam Sunyi ini, penulis membahas tentang bagaimana taaruf yang terjadi antara Fatimah dan Guz Azmi alias Azmi Iskandar. Fatimah sangat ceroboh dan manja. Ia harus keluar dari sekolahnya dan pindah ke pesantren karena orang tuanya khawatir dengan pergaulan anaknya. Pacar Fatimah terkena kasus naaar-koooooboyyy sampai membuat geger sekolah. Ada isu yang mengatakan bahwa Fatimah juga pemakai. Padahal, tidak sama sekali. Namun, orang tuanya ingin Fatimah mendalami agama di pesantren.
“Sebenarnya sudah lama Papa dan Mama berniat memindahkanmu ke pesantren. Hanya saja kami terus menundanya, dan semalam rasanya kami terlalu takut untuk menundanya lebih lama lagi.”
“Tapi kalian nggak adil, itu sama saja dengan kalian menuduh kalau Fat sama kayak Alrico. Kalian bilang akan selalu percaya sama Fat, tapi nyatanya?”
Sejak itu, Fatimah pun tinggal di pesantren. Ia sengaja berbuat kenakalan agar dikeluarkan dari pesantren. Namun, usahanya tak kunjung berhasil. Bu Nyai malah meminta Fatimah untuk serius belajar mengaji agar ilmu agamanya makin bagus. Sebagai hukuman, Fatimah pun harus murotal dengan kemampuan ngajinya yang pas-pasan itu di masjid menggunakan speaker yang bisa didengar seisi pesantren.
“Kenapa sih para santri di sini taat banget sama peraturan? Misalnya untuk salat malam atau megaji, bisa aja kan mereka bekerja sama dengan teman sekamar untuk nggak melakukan itu dan aku rasa nggak akan ada yang tahu. Secara nggak selalu ada ustazah yang ngawasin, kecuali kalau ketahuan Mak Lampir Eliana.”
“Karena kita telah berkomitmen pada diri kita sendiri, dan kita akan merasa bersalah saat melanggar komitmen tersebut. Jadi tidak perlu seorang pengawas hanya untuk melakukan sesuatu yang telah mengakar pada diri kita.” (hlm. 40)
Saat menjalani hukumannya, Fatimah tak sengaja bertemu dengan Azmi, anak Bu Nyai pemilik pesantren itu. Azmi dulu pernah kuliah S1 di Kairo. Setelah lulus, Azmi diminta untuk pulang ke Indonesia bersama Neng Wirdah. Nah, Neng Wirdah ini merupakan janda kakaknya yang telah tiada.
Suatu hari, Fatimah diminta untuk ikut seleksi Olimpiade Sains Nasional (OSN). Pembimbing OSN Matematika itu ternyata adalah Gus Azmi yang akan membantu Fatimah untuk mempersiapkan ujian OSN.
Sejak acara selapanan di pesantren, Fatimah sudah jatuh hati dengan Gus Azmi. Namun, ia berusaha menyimpan rasa suka itu, hingga kemudian sesuatu hal terjadi. Gus Azmi memberikan penyemangat pada Fatimah dalam bentuk sepucuk surat yang dititipkan pada sahabat fatimah.
Seleksi OSN yang sangat ketat membuat para peserta harus fokus dengan latihan soal dan bimbingan yang diadakan oleh para pembimbing. Hal ini membuat kedekatan Fatimah dengan Gus Azmi menjadi lebih dari sekadar kedekatan murid dan guru.
“Mencintai memang tidak salah, tapi bagi kami pacaranlah yang haram.”
“Lalu, bagaimana cara kalian untuk melakukan pendekatan?”
“Ta'aruf. Kita bisa melakukan pengenalan tanpa pacaran.”
“Gimana bisa pengenalan kalau pertemuan kita di sini aja dibatasi?”
“Tujuan kita di sini memang untuk belajar, bukan untuk mencari jodoh.” (hlm. 100)
Di pesantren, Fatimah mengalami banyak kejadian yang membuatnya jauh lebih dewasa dan berbeda dibanding Fatimah yang manja. Gadis itu berubah jadi lebih baik secara perlahan. Namun, di balik segala kemajuan yang dialami oleh Fatimah, ia juga mengalami tekanan, bullying, fitnah, bahkan hampir saja dikeluarkan dari pesantren karena pelanggaran yang sangat berat.
Fatimah hampir saja dikeluarkan dari pesantren, bahkan gadis itu mengalami dilema karena cintanya pada Gus Azmi harus mengalami ujian yang rumit. Di sinilah Fatimah diuji dan berusaha untuk menyelesaikan masalahnya satu per satu. Gimana kelanjutannya? Baca aja kisahna di novel Taaruf dalam Sunyi ini ya!
***
Menurut saya :
Novel Islami di Indonesia sangat jarang ada. Novel yang hanya menempelkan label islami jelas bukan yang saya harapkan. Namun, novel Taaruf dalam Sunyi ini berusaha menampilkan wajah pesantren yang selama ini membuat orang bertanya-tanya ada apa saja di pesantren. Apa saja hukuman yang diberikan untuk para pelanggar aturan pesantren? Bisakah pesantren mengubah karakter orang menjadi lebih baik? Bagaimana cara ta'aruf untuk menemukan jodoh di pesantren? Well ya... Meskipun novel ini tidak menjawab bagaimana proses taaruf yang diridhoi Allah, namun justru disitulah letak penasaran saya dengan novel ini.
Di novel Taaruf dalam Sunyi ini nggak secara terang-terangan menjawab bagaimana cara taaruf dalam islami sebagaimana pada umumnya yang tukeran CV gitu. Tapi justru memunculkan taaruf bentuk lain.
Ya, kalau saya nyebutnya sih ini bukan taaruf ya. Cuma kayak sahabat pena aja, tapi bedanya saling mendam rasa suka. Sesekali diungkapkan di surat, tapi dalam bentuk yang nggak terlalu menggebu-gebu gitu. Ya, walau jadinya aneh aja sih. Masa seorang santri malah surat-suratan untuk mengungkapkan cinta, apa kata dunia? :p
Novel Taaruf dalam Sunyi ini sepertinya berusaha untuk menjadi jembatan antara dunia modern yang penuh hedonisme dengan dunia pesantren yang sarat dengan aturan. Jadi bisa dibilang tokoh Fatimah ini nggak sempurna, tapi justru ketidaksempurnaannya itu yang membuat Azmi penasaran dengan gadis ini.
See? Ya, sebenernya sama seperti kisah cinta diam-diam pada umumnya. Saling jatuh cinta, tapi nggak berani melangkah lebih jauh karena banyak aturan yang mengungkung santri pesantren. Begitu bilang malah saling salah tingkah karena jatuh cinta nggak sesederhana itu. Didiemin jadi bisul. Diungkapkan malah makin banyak masalah. Wkwk
Transformasi karakter Fatimah ini menurut saya sangat soft ya, nggak kelihatan yang harus segera berubah gitu. Karena digambarkan perubahan karakter dan kebiasaan dengan sangat halus, jadi nggak kerasa pembaca seperti saya juga ikut terharu dengan perubahan yang terjadi pada diri Fatimah. Yang awalnya sama sekali nggak suka pesantren, penginnya kabur dan pulang ke rumah, tapi malah makin jatuh cinta dengan kehidupan pesantren yang mengubah dirinya menjadi lebih baik.
Di novel Taaruf dalam Sunyi ini, pesantren yang ditampilkan juga sudah menjadi pesantren modern, bukan pesantren yang kolot dan jauh dari peradaban. Soalnya udah ada seleksi OSN, ada lab komputer, ada eskul fashion design yang didalami oleh Fatimah. Bahkan Bu Nyai pun punya background pendidikan yang bagus, bukan hanya sekadar Bu Nyai yang tak memiliki ilmu umum. Selain itu digambarkan Azmi sebagai ustad juga punya bisnis, jadi bukan nebeng kekayaan orang tua.
Yang bikin saya terkejut justru karakter Ali (teman Fatimah) yang digambarkan sebagai santri laki-laki populer dan Azmi Iskandar sebagai ustad primadona. Di sini malah yang bikin heran itu aturan khalwat bisa dilonggarkan dengan surat menyurat. Bahkan boleh menyatakan perasaan, daripada dipendam. Duh duh duh... Ali yang suka sama Fatimah, dan Azmi yang ingin melindungi Fatimah, keduanya sama-sama mengirim surat pada gadis itu yang berujung tragedi.
Trus.... nggak bisa ketemu gebetan ya bisa nitip salam atau nitip surat. Memang kesannya kayak diem-dieman ya, tapi bukannya sama saja seperti mengguyur bensin ke api ya? Rasa cintanya makin berkobar. Heuheu. Ya, emang susah sih nahan diri dari nyatain perasaan suka. Tapi, gini loh... ini lagi di pesantren gitu loh. Tahanlah rasa rindu itu... kan bisa? xD
Saya jadi makin percaya bahwa ta'aruf yang sebenarnya itu memang perlu proses. Nggak yang kenal sebulan langsung jadi. Karena meski kenal berbulan-bulan pun kita nggak tahu karakter orangnya yang sebenarnya gimana. Bahkan termasuk jatuh cinta itu juga butuh proses. Nggak yang langsung ujug-ujug jadi cinta.
Ya, bahkan mawar saja butuh tumbuh dulu baru berbunga dan mekar pada waktunya. Apalagi soal rasa cinta yang tumbuh di hati manusia? Jadi, rasanya bullshit aja sih kalo ada yang bilang suka dalam waktu singkat. Karena gimana pun pasti ada pemicu rasa cinta itu tumbuh perlahan. Makanya penulis juga menyelipkan pesan tentang taaruf tanpa cinta yang dialami oleh Neng Wirdah dan suaminya, yang berujung pernikahan tanpa rasa cinta.
Pada akhirnya, jatuh cinta itu boleh kok. Nggak dilarang juga jatuh cinta sama manusia lain. Yang perlu adalah mengontrolnya menjadi rasa suka dan sayang yang bisa diatur, meskipun itu sulit sekalipun. Karena sebaik-baik obat untuk orang yang jatuh cinta adalah pernikahan.
Yang saya suka dari novel ini adalah konfliknya yang intens dan sangat detail. Selain itu juga berkali-kali dilemparkan masalah tapi setiap tokoh berusaha tumbuh dari ujian-ujian yang berat itu. Well ya, salut sih dengan character development-nya. Soft dan enak banget dibaca. Nggak terburu-buru juga pengin ending karena penulis berusaha untuk menyelesaikan masalah satu per satu hingga tuntas.
Overall, 4 bintang dari saya untuk novel Taaruf dalam Sunyi ini. Selamat membaca ya!
covernya manis sekali, jadi penasaran taaruf dalam bentuk lain nih selain CV. Aku belum baca, mayan tebel ya. Semoga ada novel islami lainnya menyusul lebih banyak lagi.
BalasHapusSecara garis besar, masih lumayan dan bisa dikonsumsi remaja kayaknya novel ini ya La
BalasHapusSepertinya plotnya menarik, membahas roman di lingkungan pesantren. Terakhir baca novel islami itu yang "Bidadari Bermata Bening" karyaHabiburrahman El Shirazy. Bahas soal pesantren juga. Tapi novel yg paling banyak bahas pesantren modern itu kayaknya masih dipegang novelnya Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi
BalasHapus