Judul
Buku : The Wind Leading to Love
Pengarang
: Ibuki Yuki
Penerbit
: Haru
Terbit
: Februari 2015
Tebal
: 342 hlm.
ISBN
: 978-602-7742-47-5
Rating
: 4/5
Rasa sakit itu merupakan bukti
kalau kita masih hidup.
Suga Tetsuji
depresi. Menuruti saran dokter, dia mengasingkan diri di sebuah kota pesisir,
di sebuah rumah peninggalan ibunya. Namun, yang menantinya bukanlah ketenangan,
tapi seorang wanita yang banyak omong dan suka ikut campur bernama Fukui
Kimiko.
Fukui Kimiko
kehilangan anak dan suaminya, dan menyalahkan dirinya sendiri. Sebagai penyebab
kematian mereka berdua. Dia meganggap dirinya tidak pantas untuk berbahagia.
Setelah
menyelamatkan Tetsuji yang nyaris tenggelam, Kimiko menawarkan bantuan pada
pria itu untuk membereskan rumah peninggalan iunya agar layak jual. Sebagai
gantinya, wanita itu meminta Tetsuji mengajarinya musik klasik, dunia yang
disukai anaknya.
Mereka
berdua semakin dekat, tapi…
***
Novel
bergenre romance ini dilabeli J-lit
atau Japan Literature. Selama ini
saya mengira bahwa Penerbit Haru hanya menerbitkan novel Korea, ternyata kini
sudah merambah ke novel Asia lainnya. Ini pertama kalinya saya membaca novel
Jepang yang diterjemahkan oleh Penerbit Haru. Saya mendapatkan novel ini dari
hadiah menang Giveaway Blog Tour di blog mba Dhyn. Thanks, mba Dhyn. ;)
Novel ini
bermula dari kisah Peko-chan yang
dianggap sebagai wanita keberuntungan. Setiap kali wanita itu menumpang di truk
untuk sampai ke tempat tujuan, supir yang memberi tumpangan akan mendapatkan
keberuntungan. Ada yang sampai menikah dengan pemilik truk, bahkan akhirnya
punya truk dalam jumlah banyak. Peko-chan
sebenarnya hanya sebutan untuk seorang wanita bernama Fukui Kimiko. Pada musim
panas kali ini Kimiko berencana menghabiskannya di sebuah kota kecil bernama
Miwashi. Siapa sangka saat ia menumpang di mobil yang dikendarai Tetsuji
akhirnya membuat ia dan Tetsuji menjadi dekat?
Tetsuji
didiagnosa menderita depresi. Ia hampir bercerai dengan istrinya, namun sang
istri memintanya untuk menunggu putri mereka lulus ujian sekolah baru bercerai.
Tetsuji yang baru saja kehilangan ibunya, semakin terpuruk. Depresinya membuat
ia tidak bisa tidur setiap malam, bahkan hingga sakit leher dan tidak bisa
menoleh ke kanan. Tetsuji hampir saja mati tenggelam di laut andai tidak ada
Kimiko yang menolongnya.
Di rumah
ibunya di Miwashi, Tetsuji ingin menenangkan diri. Namun ia malah bertemu
dengan Fukui Kimiko, si Peko-chan
yang telah menolongnya dari kecelakaan di laut. Kimiko ingin membantu Tetsuji
membenahi rumah ibunya agar bisa layak jual. Sebagai gantinya, Tetsuji
mengajari Kimiko tentang musik klasik yang sangat disukai anaknya. Anaknya
meninggal di laut, di musim panas beberapa tahun lalu. Sudah bertahun-tahun berlalu
tapi Kimiko masih menganggap bahwa kematian suami dan anaknya akibat dirinya.
Sejak itu Kimiko selalu berpindah-pindah pekerjaan dan tempat tinggal. Ia hanya
pulang ke Miwashi untuk melakukan obon, upacara mengingat kematian suami dan
anaknya.
Kimiko dan
Tetsuji, dua orang yang sama-sama terluka, saling membantu untuk menyembuhkan.
Trauma keduanya berhubungan dengan orang yang sudah meninggal. Tidak mudah
untuk menghapus rasa bersalah karena masa lalu. Karena itu, Kimiko dan Tetsuji
menghabiskan banyak waktu bersama untuk saling berbagi cerita. Hingga kedekatan
keduanya membuat orang-orang di Miwashi menggosipkan mereka. Apa yang akan
dilakukan jika karena gosip itu istri Tetsuji mendadak datang ke Miwashi?
***
Novel ini
banyak memberikan informasi yang baru bagi saya tentang budaya Jepang seperti
obon, kuliner, musik klasik, hingga teater. Belajar memahami budaya suatu
negara lewat sebuah novel berbeda dengan membaca buku traveling. Di novel ini
saya jadi lebih merasakan suasana Jepang dengan dua sudut pandang yang berbeda.
Dari sudut pandang orang kota seperti Tetsuji dan Rika, dan orang desa seperti
Madam, Mai, Shun, dan Kimiko. Saat selesai membacanya pun saya merasakan
suasana rumah semenanjung dan Miwashi yang memesona di mana Tetsuji akhirnya menemukan
penyelesaian bagi dirinya. Di bagian musik klasik juga pembaca akan disuguhkan
banyak informasi tentang musik klasik. Sehingga siapapun yang belum mengerti
tentang musik klasik bisa mulai mencoba mendengarkan seperti Kimiko yang
belajar memahami arti musik.
Di novel ini
juga pembaca yang merasakan insomnia seperti Tetsuji akan mendapatkan cara
untuk menyembuhkan insomnia, seperti menggunakan teknik akupuntur di kaki, juga
meletakkan handuk panas di punggung agar sensasi panas membuat tubuh lebih rileks.
Saya juga baru paham bahwa ada perbedaan luar biasa antara orang desa dan kota
yang tampak terlalu jauh ketika melihat Tetsuji dan Kimiko bersama. Seperti
Tetsuji yang dianggap sebagai melon kelas satu, dan Kimiko yang menganggap
dirinya hanya seperti kinko-uri atau timun
suri, buah murah yang tidak berharga.
Menggunakan
POV 3 serba tahu, penulis membuat pembaca jadi mengerti ada beragam alasan
mengapa seorang tokoh mengambil keputusan ini dan itu. Pembaca tentu saja
setelah tahu sebabnya tidak bisa menjudge mengapa pilihan yang jatuh justru
tidak seperti yang diharapkan. Meski ada yang mengganjal seperti cara Kimiko
blak-blakan berbicara dengan Tetsuji tentang ‘rahasia-rahasia’nya, saya rasa
itu karena karakternya yang blak-blakan. Kimiko selalu menganggap dirinya
sebagai ‘bibi tua’ yang sudah hampir beranjak di usia matang menuju empat puluh
tahun. Sehingga tidak merasa risih meski bahasan yang diungkapnya cenderung
vulgar. Melihat hal ini, buku ini hanya cocok bagi pembaca berusia 21 ke atas.
Terlepas
dari kisah cinta yang singkat antara Kimiko dan Tetsuji, pembaca akan menemukan
sebuah penyelesaian yang berbeda. Pada akhirnya, cerita bersimpul pada prolog
novel ini. Kekurangan novel ini ada pada bahasa yang digunakan. Kadang ada yang
tidak baku seperti penggunaan kata “nggak” di beberapa kalimat(hlm. 292). Di
kalimat, “Aku benci orang yang nggak
sadar kalau dia nggak tahu apa-apa.” dan “Kau mengerti? Aku yakin kau nggak ngerti. Kau itu nggak ngerti
apa-apa.” Seperti tidak konsisten dengan format terjemahan di awal cerita
yang menggunakan kalimat baku. Ada juga penggunaan kata yang agak aneh seperti
‘sok pintar-pintaran’. Padahal saya kira menggunakan istilah ‘sok pintar’ saja
sudah cukup menunjukkan karakter Kimiko, alih-alih memakai ‘sok
pintar-pintaran’. Oiya, covernya sesuai dengan isi novel. Jadi saya suka dengan
covernya yang berbicara. Well, 4
bintang untuk kisahnya.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung ya. ^_^