Judul Buku : Catatan Harian Menantu Sinting
Pengarang : Rosi L. Simamora
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan Pertama, 2018
Tebal : 232 halaman
ISBN : 9786020380674
Genre : Novel Metropop
Harga Buku : Rp 63.000
Rating : 4/5 bintang
Sinopsis Buku Catatan Harian Menantu Sinting :
Aku Minar.
Ini cerita cinta versi aku dan Sahat (dan… Mamak Mertua)
Seru. Ngeselin. Gemesin.
Sekaligus sangat menantang.
Ditambah latar belakang keluarga besar Batak yang penuh drama dan
asumsi, kisah-kisahku lebih sering berakhir konyol dan nyaris bikin aku
frustasi.
Apalagi aku dan Mamak Mertua punya kepercayaan berbeda tentang cinta
dan kebahagiaan, terutama kalau menyangkut Sahat, kesayangan kami berdua.
Dengan bahasa yang ringan, cerita ini sengaja dikemas untuk membuat
pembacanya terbahak-bahak.
Resensi Buku Catatan Harian Menantu Sinting :
Pernikahan Minar dan Sahat baru
saja dimulai, tapi ada hal-hal yang bikin Minar merasa keberatan ketika
akhirnya Mamak Mertuanya, yaitu Ibunya Sahat ternyata punya tingkat kepo yang
tinggi. Perempuan Batak asli itu sering mempertanyakan kenapa anak laki-lakinya
mau menikah dengan Minar, perempuan biasa saja yang meskipun asli Batak tapi
dipertanyakan keabsahan asal sukunya. Lol
Resep Seru Perkawinan
Ambil dua potong cinta buta, letakkan dalam mangkuk perkawinan, kocok
sampai mengembang
Masukkan Mamak Mertua ke dalamnya, tambahkan delapan tahun usaha keras
buat punya momongan
Aduk rata, lalu hidangkan panas-panas.
Minar yang bekerja sebagai penerjemah
lebih memilih kerja di rumah karena pekerjaannya sangat fleksibel. Bisa
dikerjakan di mana saja. Tapi, Mamak Mertuanya sangat kepo dan bikin mood Minar
ambyar karena tingkahnya yang ajaib. Mamak Mertua selalu mempertanyakan kapan
Minar kerja? Kok nggak kerja? Kok di rumah aja? Katanya sarjana?
“Tak
paham aku, Eda… Macam kena tipunya kita dibuat. Waktu marhata sinamot kemarin
itu, sarzana kata si Sahat kita ini yang zudah pesong kurasa, langsung
disikutnya aku di depan orang itu, torus dibilangnya, “Kasih sazalah, Mak. Yah,
tak tahunya beginilah, Eda. Di rumah torus dia itu. Pagi di rumah. Siang di
rumah. Sore di rumah. Malam pun di rumah. Mana ada sarzana di rumah duduk-duduk
dari pagi sampe pagi kok?” (hlm. 19)
Bahkan sampai urusan mahar nikah
saja dibahas oleh Mamak Mertua. Katanya, dulu Mamak Mertua disuruh bayar uang
mahar dengan harga yang tinggi, alasannya karena perempuan yang dinikahi Sahat
itu seorang sarjana.
“Memangnya
besar Sinamot berdasarkan jenjang pendidikan calon pengantin perempuan gitu?
Yang benar aja! Tapi bukan merasa bangga, aku malah merasa selevel sapi yang
diperjualbelikan di pasar ternak. Jadi malamnya si Sahat pun kena aku
nyinyirin.” (hlm. 19)
Meskipun secara adat dan tradisi
ini dilakukan untuk menaikkan harga diri perempuan yang akan dinikahi, tapi
kalau urusan mahar saja sampai dibahas melulu, sebel juga ya.
Saat di rumah, Mamak Mertua akan
terus mengurusi hidup anaknya karena ingin ia punya cucu dari semua anaknya.
Inilah cita-cita mamak Sahat. Ia ingin meninggal dengan cara saur
matua.
“Mamak
Mertua itu kepingin waktu doski berpulang kelak, semua anaknya, laki maupun
perempuan, udah nikah dan punya anak. Titik. Dan mencapai saur matua ini konon
adalah cita-cita semua orang Batak di muka bumi.” (hlm. 39)
Masalahnya, ada dua orang yang
belum memberikan cucu. Satu, bang Monang, si anak pertama yang jadi playboy cap
abal-abal. Dia belum nikah sampai sekarang. Sedangkan Sahat belum punya anak sejak
pernikahannya dengan Minar. Selama 8 tahun, mereka berusaha punya anak, bahkan
Mamak Mertua sampai minta ikut ke dokter untuk periksa kesehatan. Maksudnya,
pas si Sahat dan Minar konsultasi soal program kehamilan dan cek kualitas
kesuburan pasangan ke dokter fertilitas, Mamak Mertua pengin ikutan sekalian.
Wkwk. Akhirnya, mau gimana lagi. Mamak Mertua pun ikutan ke sana. :D
“Nah,
berhubung kayaknya Mamak Mertua diam-diam sadar dia nggak bisa mengandalkan
Bang Monang, dia pun mulai memindahkan obsesinya untuk menghadirkan penerus
marga itu ke aku sama Sahat. Dan dia terang-terangan banget soal ambisi
tunggalnya itu, nggak ada tuh yang namanya gerilya-gerilyaan atau malu-malu
kucing. Semuanya tembak langsung bahkan nun jauh di zaman dahulu kala tepat di
hari perkawinan kami dulu.” (hlm. 93)
Percakapan tentang betapa
pentingnya garis keturunan di keluarga Batak malah dilakukan Mamak Mertua di
hari pernikahan Minar dan Sahat. Minar ditanya langsung tentang pendapatnya
untuk punya anak sebanyak-banyaknya. Bagi orang Batak, punya anak laki-laki
dari setiap anaknya akan membuat dia bangga, karena bisa menjadi penerus
keturunan Batak. Memang beda ya, patrilineal itu.
Di suku Batak, ada beberapa
kultur yang sangat berbeda jauh dengan suku lain. Ini yang bikin Mamak dan
Minar selalu debat tentang banyak hal, padahal mereka ya sama-sama orang Batak
juga. Bedanya, Minar Batak campuran, dan Mamak Batak Tulen dari garis keturunan
keluarganya. Inilah yang bikin keduanya sering cekcok dan debat bahkan di depan
Sahat. Bahkan Mamak mempertanyakan cinta Minar pada Sahat.
“Dulu
itu, cinta sama sekali tak pentingnya, Minar. Yang penting melahirkan anak
laki-laki sebanyak-banyaknya. Setelah itu cinta tumbuh sendiri sih. Kayak
rumput. Begitu…”
“Ya,
zaman berubahlah, Inang. Sekarang cinta itu penting.”
“Tidak
sepenting penerus marga, Minar!”
“Ah,
siapa bilang! Soal anak sih gimana nanti
aja.”
“Ya
tak bisa begitulah, Minar. Buatku perkawinan klian ini sangat penting.”
“Buatku
juga. Meskipun jelas yang penting menurutku ini beda dengan pentingnya Inang.”
“Dengar
ya, pokoknya klian harus kasih aku penerus marga! HABIS PERKARA! Ingat, akulah
yang mangongkosi pesta adat klian ini!” (hlm. 96)
Astaga, Mamak Mertua ini
ngeselin, tapi ya gimana ya. Hahaha. Mamak Mertua ini punya sense yang agak
gimana gitu soal menantunya, bahkan di hari pertama pernikahan Sahat dan Minar.
Selain terobsesi ingin punya cucu banyak, Mamak Mertua juga suka ngurusin hidup
orang lain. Seperti orang tua pada umumnya yang senang mengurusi hidup anak dan
menantunya. Kali ini Mamak pun selalu berusaha mengurus semua hal, termasuk
percintaan Bang Monang yang gagal maning
gagal maning, son. :p
Saat bang Monang akan menikah
dengan Ajeng, gadis jawa, Mamak Mertua tidak setuju. Alasannya karena boru
Batak di keluarga mereka itu masih keturunan asli Batak. Bukan keluarga kawin
campur antara dua suku. Jadi, bisa dibilang keturunan asli Batak itu bangga
kalau mereka masih memiliki darah asli Batak. Itu sebabnya, Minar merasa Mamak
Mertuanya mirip dengan Voldemort. Hahaha. Alasannya, ya apalagi coba? Voldemort
nggak suka darah campuran. Lebih suka darah murni.
Di bab Mamak Mertuaku,
Voldemortku. Di situ Minar curhat soal Mamak Mertua yang belum mau ngasih ijin
nikah buat Ajeng dan Monang. Padahal Monang udah tua dan susah buat serius sama
seseorang.
“Botul
do i yang kaubilang itu. Tapi… tak adanya kami Pomparan Ompung Monang Purba
yang apa sama boru Zawa deh. Begitu… Kalok masih ada boru Batak, kenafanya
harus dengan boru Zawa…” (hlm. 55)
“Ya
daripada Bang Monang nggak kawin sama sekali? Emangnya Inang mau ambil risiko
itu?”
“Ehem…
Ya zangan sampai tak kawinlah. Amang oi, Amang. Pokoknya harus kawin si Monang
itu. Harus!” (hlm. 56)
Yang bikin Minar sebel, Mamak Mertua
mulai rutin ikut ke dokter pas cek kesuburan. Amboi, berasa anak TK diajakin mamaknya. xD Hasilnya, Minar pun
kekeuh pengin Sahat ngasi tahu mamaknya untuk nggak ikutan ke dokter. Malu kan
kalau urusan ranjang saja, Mamak harus ikut campur. Wkwk. Akhirnya, Minar pun complain
soal itu ke Sahat. Biar Mamak Mertua nggak ikutan membuntuti mereka.
Bahkan, saat ada kejadian yang
nyebelin terjadi yaitu insiden kado ‘senter pink’ yang diambil Mamak Mertua
karena mengira itu beneran senter pink, Mamak menyimpan barang itu. Minar
khawatir itu bikin masalah suatu hari nanti dan bikin malu di acara adat
keluarga Batak.
Orang Batak itu senang pesta,
bahkan pesta kecil maupun besar, mereka selalu mengadakan pesta dengan para
keluarga besarnya. Inilah yang bikin Minar ngomel dan Sahat pun komentar soal
ini.
“Ampuuuun, Nar… nggak mau aku…
bisa mandi madu, eh mandi malu aku kalau diomongin soal nggak pintar ngitung
hari subur lagi ke semua orang yang ada dalam tarombo. Kapok!” (Hlm. 182)
Yang bikin saya ngakak waktu penulis membahas soal suara
orang Batak. Iya, orang Batak kalo ngomong kan kenceng. Nah, Minar khawatir
kalau ditertawakan oleh sekeluarga Batak di acara adat dan pesta-pesta Batak
lainnya. Masalahnya, suara mereka itu lho…. Yang ummm… bikin keki.
“Gimana
nggak histeris, hampir setiap malam aku bermimpi buruk hal ini betul-betul
terjadi. Dan nggak ada lucu-lucunya jadi bahan ketawaan orang Batak, tahu
nggak? Satu orang Batak ketawa aja udah bikin nyali rontok, apalagi kalau yang
ketawa seruangan gedung pertemuan. Belum lagi gosip di antara orang Batak itu
nyebarnya lima ratus kali kecepatan cahaya, maaan! Ngerinya amit-amit!” (hlm.
183)
Ada banyak kejadian konyol bin
ngeselin tapi juga lucu yang bikin kisah cinta Minar dan Sahat plus Mamak
Mertua ini jadi makin seru buat diikuti. Pasalnya, Minar yang Batak tapi nggak
terlalu keliatan Bataknya ini selalu berbeda arah dan pendapat dengan Mamak
yang kolot dan cenderung mengikuti adat dan culture Batak pada umumnya.
Perbedaan pendapat tentang budaya
inilah yang bikin suasana jadi makin rumit. Tapi di antara semua kejadian itu,
ada beberapa kejadian yang bikin ngakak. Apalagi pas Mamak Mertua bawain
makanan yang mengandung bahan cacing buat obat Minar pas sakit tipes. Itu bikin
ngakak banget sih.
Trus, ada juga kejadian pas Minar
kecele karena Sahat, Bang Monang dan kedua kakak perempuannya janjian buat
blokir nomor Mamak. Jadi, Mamak nggak bisa ganggu mereka all day long dengan telefon nggak pentingnya.
Misalnya aja pas nanya gimana
cara bikin status di fb, bahkan gimana caranya melakukan hal-hal yang sederhana
tapi ditanyain lewat telfon di saat anak-anak dan menantunya lagi pada kerja di
kantor. Bikin pusing, kan? Hahaha.
Masalahnya, Si Sahat nggak
ngajakin buat blokir nomor Mamak. Hasilnya, Minar seharian ditelfonin terus
sama Mamak buat ditanyain ini dan itu.
Trus, pernah suatu hari Mamak
Mertua membuat sebuah kekonyolan karena salah nama. Jadi, waktu Mamak Mertua
dapat kabar bahwa ada temannya yang meninggal, dia langsung minta diantar ke
rumah orang itu. Masalahnya, namanya sama. Ada dua orang dengan nama yang sama,
plus Mamak udah lupa rumahnya seperti apa, bahkan orangnya seperti apa aja dia
udah rada lupa. Maklum, dia ketemu terakhir kali itu ya pas 30 tahun kerja di
Timika.
Masalahnya, Mamak ngeyel bilang
kalau betul itu rumah orang yang sedang berkabung. Begitu masuk ke rumahnya,
mamak mertua belagak sedih dengan menangis sambil meratap dan membawa fotonya. Mamak
punya bakat meratap sampai bikin orang ikutan nangis juga. Abis itu, baru
kejadian konyol terjadi. Ternyata… itu rumah salah alamat woy. Wkwk. Makanya,
kalau salah nama tuh ya jangan ngeyelan. :p
“Dan
bener aja, begitu dari depan terdengar suara mobil dan si mbak ART
tergopoh-gopoh keluar membukakan gerbang, Mamak Mertua sudah siap menyambut
dengan andung-annya, lengkap sambil bawa-bawa potret Drs. S. Sihite segala,
yang dicomotnya dari atas buffet. “
“Tepat
ketika nyonya rumah muncul di depan pintu, tanpa ba-bi-bu Mamak Mertua langsung
action : Tampang disetel galau, suara melolong-lolong, satu tangan memeluk foto, tangan yang lain menyentuh-nyentuh
sambil sesekali mengguncang-guncang nyonya rumah yang hanya bisa berdiri
mematung. Terpana.” (hlm. 194)
Yang bikin geleng-geleng adalah
karena sikap Mamak Mertua yang santai sekali menanggapi insiden itu. Dia bilang
begini.
“Zudah
bagus suaminya masih hidup, tak porlulah dia tersinggung begitu. Manusia biasa
kita ini, ya kan? Sekali-kali bisa khilap zugak salah alamat!” (hlm. 196)
Ada banyak lagi kejadian aneh bin
ngeselin ala Mamak Mertua dan dua sejoli Minar dan Sahat. Yang bikin saya
ngakak malah pas bagian Mamak Mertua hobi banget makan guguk. Masalahnya, dia complain
soal Minar nggak suka guguk itu di facebook. Seluruh dunia sampai tahu soal
ini. Padahal, Minar dikenal sebagai pecinta guguk dan bahkan melihara hewan itu
di rumahnya sebagai hewan kesayangan. Bisa-bisanya dia berurusan dengan Mamak
Mertua yang mirip Devil di film Dalmatian. Wkwk.
Plus, kejadian terakhir di ending
novelnya ini bikin ngakak banget sih, buat tahu endingnya baca aja keseruannya
di novel ini.
Buat saya, novel Catatan Harian Menantu Sinting ini memberi penyegaran
hubungan antara Mamak Mertua dan menantu Batak yang meskipun rumit tapi
kisahnya bikin ngakak dan seru. Ada berbagai insiden di antara ketiganya di
masa-masa perkawinan Minar dan Sahat selama 8 tahun.
Buat Minar, punya mamak mertua
yang kepo akut itu ujian. Tapi di satu sisi dia tahu, sebenarnya Mamak
Mertuanya baik dan penyayang, tapi cara mengekspresikannya beda jauh dengan
orang tua pada umumnya. Lebih tepatnya, kadar kepo dan nyebelinnya melebihi
orang lain. Ini yang bikin Minar pusing dan frustasi ngurusin mamak mertua itu
bareng Sahat.
Kisah cinta antara dua orang
seringkali berujung pada pernikahan. Tapi, punya Mamak Mertua itu nggak bisa
milih, kan? Nah, inilah yang ingin ditampilkan dalam novel Catatan Harian
Menantu Sinting. Karena, menikah itu nggak sama seperti membeli kucing dalam
karung. Iya, kalau kucingnya itu mamaknya, si menantu bisa apa? Kan cintanya
sama si suami, bukan sama mertuanya. Maka, terima nasib saza dah. :p
Novel karya mba Rosi L Simamora ini memiliki pace yang
cepat, dengan alur cerita yang seru dan kocak. Format ceritanya juga seperti
catatan harian pada umumnya yang lebih blak-blakan dan tanpa sensor. Selain
itu, ceritanya dibuat konyol memang disengaja, jadi nggak usah kaget kalau
banyak scene yang bikin keki tapi juga lucu kalau diingat-ingat. Meskipun cara
menanggapinya sedikit menyebalkan dan bikin Minar kapok, tapi sebab cintanya
pada Sahat sudah telanjur dalam, dia pun nggak kepikiran buat tukar tambah
Mamak Mertua. Ya, mau gimana lagi, kan? Hahaha :p
Overall, saya sudah cerita di novel
Catatan Harian Menanti Sinting ini. Illustrasinya juga menggambarkan isi
cerita tiap bab. Jadi meskipun ceritanya dibuat mature alias genre cerita ala
umur 21+ saja yang boleh baca, tapi tetap seru buat dibaca. Nah, udah pernah
baca novel ini? Atau kamu punya pengalaman kenal dengan orang Batak seperti
Mamak yang kepo dan selalu penuh asumsi? Share dong di komentar. :D
saya juga baru baca buku ini di Ipusnas. lucu dan sabar banget si Minar ngadepin mertuanya. kalau saya kayaknya udah kabur sejauh-jauhnya deh, wkwk
BalasHapusWkwk iya, mertua Minar nih ajib banget. Se-excited itu sama anak mantunya, sampe ikutan nginep di rumah dan ngerusuhin isi rumah segala. xD
Hapus