Judul Buku : Backpacker Surprise
Penulis :
Gol A Gong dan Tias Tatanka
Penerbit :
DAR! Mizan
Terbit :
2010
Tebal : 168
halaman
ISBN :
978-979-066-315-2
Rating :
3,5/5
Dinamika
remaja menjalani kehidupannya akan selalu menarik untuk disimak dan diambil hikmahnya.
Novel ini pun berkisah tentang perjalanan seorang Larasati mencari jati diri
dalam hidupnya.
Larasati
adalah siswi SMU di kota Solo yang masih memiliki darah keturunan keraton.
Baginya, hidup sebagai seorang siswi dengan dinamika kehidupan mulai dari
masalah percintaan, konflik dengan teman di sekolah, dan hal-hal lain yang
dialaminya sangat umum dialami oleh remaja lain. Kisah cinta segitiganya yang
rumit antara dirinya, Chandra dan Boni membuat Laras sering berseteru setiap
kali bertemu. Di sekolah pun Laras berkenalan dengan Darmanto, lelaki yang merupakan anak
petugas kebersihan sekolahnya. Darmanto memiliki karakter kuat dan
mandiri yang membuat Laras tertarik pada lelaki itu.
Ayah
Laras orang biasa, sedangkan ibunya punya garis keturunan keraton. Ini yang
membuat keduanya dikatakan sebagai pasangan yang tak sepadan. Eyangnya tak
pernah menyetujui pernikahan orangtua Laras, itu sebabnya ia harus rela
keluarganya hidup terpisah dan Laras tidak terlalu mempermasalahkan ini. Sampai
suatu hari datang kabar itu, orangtuanya resmi bercerai. Laras terombang-ambing
antara kenyataan di depan matanya. Keluarganya sudah tak seperti dulu lagi.
Meski ayah dan ibunya pisah rumah, tapi selama ini ia masih bisa bertemu dan
menghabiskan waktu dengan ayahnya.
Laras terbiasa memandang kehidupan
dari sisi yang unik, menyenangkan menemukan hal baru yang tak membosankan.
Hidupnya serasa lebih berwarna dengan teman-temannya. Bosan ditambah penat
karena masalah orangtuanya, akhirnya membuat ia memilih untuk melakukan perjalanan
dadakan dengan menggunakan motornya.
Dari
Solo hingga ke Klaten dan Jogja, Laras mendapatkan banyak pelajaran tentang
kehidupan. Jalanan mengajarkan tentang arti hidup yang sesungguhnya. Ia mulai memindai
hikmah dari setiap peristiwa yang dialami selama perjalanan, mulai dari
solidaritas Mioners, perjalanannya selama menemani peneliti di Candi Prambanan,
acara Sekaten, hingga tragedi yang membuatnya harus kembali kepada
kehidupannya. Dapatkah Laras menjadi remaja yang memaknai kepingan kehidupan
dengan cara yang Tuhan ajarkan lewat masalah-masalahnya? Baca saja buku ini. ;)
***
Buku
yang diangkat dari cerita bersambung di sebuah tabloid remaja GAUL ini
merupakan cerita berseri. Ini buku yang pertama, bertema “namaku Larasati”.
Membaca bagian pembuka novel ini yang bersetting kota Solo, saya mengapresiasi
penulisnya karena bisa menggambarkan Solo dengan detail, mulai dari budayanya,
kondisi jalanannya, kulinernya, dll. Setting
tempat di kota Solo, Klaten dan Jogja yang cukup kuat memang merupakan kekuatan
dari novel ini. Ditambah lagi ada hikmah yang memang ingin disampaikan oleh
penulisnya untuk memberi gambaran pada remaja apa yang ada di kehidupan mereka
tentang memaknai cinta yang sebenarnya, cinta yang sakral, juga tentang arti
keluarga, sahabat, indahnya berbagi dan mandiri saat backpackeran.
“Nggak
baik pagi-pagi sudah marah, apalagi belum sarapan. Energimu habis nanti!”
(Halaman 95)
Petualangan
demi petualangan dimulai oleh Laras. Berbekal berkendara dengan motor matiknya,
ia menyusuri jalanan yang pernah dilewatinya dengan ayahnya yang seorang traveller. Sayangnya,
saya cukup kaget dengan perpindahan alur yang cukup cepat ditambah logika
cerita yang sering membuat tokoh Laras secara “tanpa sengaja” bertemu dengan
orang-orang yang ia kenal. Jadi seperti mimpi saja, misal Laras di rumah sakit
ketemu dengan Eyang dan Om. Di Galabo ketemu Chandra dan Boni. Serasa
dipaksakan ada tokoh-tokoh itu agar jalan cerita tetap bisa berjalan. Padahal
terlalu banyak kebetulan juga tak bagus menurutku.
Ada
juga yang membuat saya bingung. Laras dikatakan memiliki darah keraton di isi
bukunya.
“Kamu itu
putri keraton, Laras. Dalam darahmu mengalir darah para raja dan ratu, yang
pernah memerintah tanah ini. Eyang berharap, selama kamu di sini bisa belajar
banyak hal tentang etika dan tata karma bagi putri keraton.” (halaman 130-131)
Kira-kira,
keraton mana ya? Ini yang masih samar, saya tidak menemukan keterangan keraton
yang dimaksud di buku ini. Antara keraton Solo dan Jogja jelas beda kebijakan terhadap penghuni keraton.
Tapi saat saya baca sinopsis belakang buku ditulis, ibu Laras hanya seorang
abdi dalem keraton Jogja. Abdi dalem dengan darah keraton asli berbeda jauh
maknanya. Sebab yang saya tahu, biasanya abdi dalem digaji dengan bayaran
sedikit sebab pekerjaan mereka lebih bersifat pengabdian, ini yang saya tahu
saat datang ke keraton Solo. Padahal digambarkan di bukunya, Laras memiliki Eyang
yang rumahnya lumayan besar dan cukup berada, sebab di rumahnya ia dibantu oleh
dua pembantu, seorang tukang kebun dan seorang supir. (halaman 129) Mungkin
info yang benar Laras keturunan darah biru asli kali ya? Inkonsistensi antara
isi buku dan sinopsis di back cover
itu yang membuat saya bingung.
Lalu
ada lagi kejanggalan yang saya temukan, Darmanto mengenalkan dirinya secara
personal pada Laras dengan nama “Anto” (halaman 30). Tapi sampai cerita selesai
di akhir, tak pernah saya baca nama Anto disebut lagi. Alih-alih dipanggil
Anto, lelaki itu malah dipanggil “Dar” oleh Laras. Jadi seperti mubazir saja
adegan pengenalan diri ini. Sebab ternyata info nama itu tak dipakai sama
sekali di adegan berikutnya.
Buku
ini meski segmennya remaja namun membidik kritik sosial sebagai kunci dari
cerita utama tokoh Larasati. Sebagai anak dari trah keraton, unggah-ungguh dan
segala hal yang beraroma adat istiadat wajib dijaga olehnya. Perpindahan cerita ditandai dengan
puisi di awal bab membuat cerita terasa romantis dan sendu. Buat penyuka bacaan
romantis, baca deh buku ini. Dijamin suka dengan puisi-puisinya. Overall, 3,5 bintang untuk novel ini. :)
Diciptakan
cinta
pun pada
pahatan waktu
agar kau dan
aku mengerti
hakikat
tubuh dan rasa
Maka
kutitipkan setitik cinta
pada cahaya
hidup
biar
berpendar tanpa pudar
menuju abadi
yang dijanjikan
aku pernah baca ceritanya ini dr tabloid *tapi gak ngikutin terus sih*
BalasHapusenak dibaca sih yah ka, cuma ya itu bnyak yg agak kurang ngeh kitanya yah..
truskan ayahnya ya yg org biasa? biasanyakan yg kuat darah dr ayah, tapi ini lebih ditonjolkan kuat dr dari ibu yg turunan darah biru, hihi
Baca resensi begini jadinya kita sebagai penulis makin berusaha untuk menjelaskan secara detil apa yang kita tulis yak, hehe
BalasHapusHmmm.... kok editornya tidak menangkap inkonsistensi itu ya? Penulis & editor perlu kerjasama yang erat, karena kadang saking tekunnya si penulis, justru banyak detil yang goyah. Tapi sebagai penulis, ini catatan untuk makin menjiwai naskah.
BalasHapusPas banget nih cerita anak remaja,,, cocok seusia saya hehehee
BalasHapus