Judul Buku :
My Avilla
Penulis :
Ifa Avianty
Penerbit :
Indiva Media Kreasi
Tebal : 184
halaman
Terbit : Februari
2012
ISBN : 978-602-8277-49-5
Rating : 4/5
“Aku ada di sini, kembali di
antara orang-orang yang kucintai. Yang kutinggalkan, karena aku tak mampu
mengikuti cara mereka menjalani hidup. Sebab, aku telah terlanjur memilih
jalanku sendiri. Jalan yang justru membuatku terpuruk dalam keterasingan selama
bertahun-tahun lamanya dan mencampakkanku dari semua yang harusnya kunikmati dan
kunamai sebagai kebahagiaan.” (halaman 13)
Trudy
kembali ke Jakarta sesaat setelah mendengar Oma meninggal. Pemakaman diadakan
setelah Trudy hadir. Baginya, kembali ke rumah bukanlah sebuah ide yang bagus.
Trauma, kesendirian dan kemalangan yang menimpanya membuat ia akhirnya memilih
untuk meninggalkan rumah. Kini jika ia harus kembali, akankah ia sanggup untuk
minta maaf pada orang terkasih atas perbuatannya? Meninggalkan Fajar yang
stroke sebelum pernikahan dilangsungkan, menjadi penyebab Phill meninggal dalam
kecelakaan dan membuat kakaknya, Margriet, sedih. Trudy menata hatinya dengan
lunglai. Buatnya, butuh waktu lebih lama untuk yakin keluarganya masih
memaafkannya.
Adegan
pembuka novel dibuka dengan kedatangan Trudy si anak hilang. Trudy sebagai
kunci dari dimulainya perkenalan Fajar dan Margriet tahu pada akhirnya cinta
tak berpihak padanya. Dulu, saat ia SMA dan sekelas dengan Fajar, lelaki pemalu
dan penggugup itu ternyata jatuh cinta dengan Margriet, kakak Trudy yang duduk
di bangku kuliah tingkat dua. Tak disangka, lelaki itu menutup pintu hatinya
untuk Trudy, padahal gadis itu menyukainya. Margriet yang mendapat pernyataan
cinta dari Fajar kembali bertanya, mengapa justru lelaki itu yang hadir lebih
dulu untuk menyatakan cintanya, bukan lelaki lain? Apalagi usia mereka yang
terpaut empat tahun. Apa kata dunia?!
Pesona
Margriet mampu membuat Fajar yang bimbang akan jalan hidup yang dijalaninya,
merasa menemukan jawaban atas pencarian Tuhan. Bagi Fajar yang hidup dalam
keluarga beragama campuran, agama menjadi tercampur hingga ia kehilangan visi
hidupnya. Hatinya terwarnai Katolik, sedangkan perbuatannya bernafaskan Islam.
Mana yang sebenarnya akan Fajar pilih sebagai agamanya? Di antara
kebimbangannya akan jalan hidupnya, Margriet hadir menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang kisah pencarian jati diri dan kerinduan akan
Tuhan lewat diskusi serius di antara keduanya. Sayangnya, Margriet hanya menganggap Fajar sebagai lelaki yang biasa saja. Akhirnya lelaki itu pun pindah ke Roma untuk melanjutkan kuliah.
Bukan
hanya Fajar yang membuat Margriet bingung menjawab pertanyaan seputar pencarian
Tuhan. Tapi waktu jugalah yang membawa Margriet berkenalan dengan Phill, bule
yang sekantor dengannya. Di antara Phill yang seorang penganut agnostic, Margriet
yang muslimah taat dan Fajar yang lelaki low
vision dan bingung dengan campuran agama yang dia yakini. Ketiganya
memiliki opini sendiri tentang bagaimana mencintai Tuhan dengan cara
masing-masing. Hingga suatu hari Margriet mendapat lamaran dari Phill setelah lelaki itu berbulan-bulan sebelumnya resmi menjadi mualaf. Dapatkah Margriet menjadi bidadari yang bisa menuntun sang imam menggapai bahagia yang sesungguhnya?
***
Dibumbui
dengan kisah cinta yang rumit dan membuat pembaca masuk ke dalam kisah yang
dituliskan oleh penulis, kisah ini memang patut untuk diapresiasi. Meski temanya
yang berat dan cenderung membuat kening saya berkerut karena saya memang kurang
tahu tentang debat agama, tapi pemahaman Margriet akan statusnya sebagai
muslimah yang harus tetap menjaga jarak dengan dua lelaki yang mendekatinya,
membuat saya takjub. Buat seorang Margriet, menjaga hati ternyata tidak mudah,
ditambah beratnya beban yang harus ia emban dengan menjawab pertanyaan seputar
agamanya.
Bahkan
konsep logika yang sering dianut oleh seorang Fajar, membuat cerita makin
lengkap dan detail. Seperti pertanyaan-pertanyaan ini, “Bila Tuhan adalah pencipta semua umat di dunia, mengapa harus ada
banyak agama? Mengapa harus ada pemecahan-pemecahan yang membingungkan,
sementara semua ajarannya terasa agung? Mengapa harus ada sekat-sekat yang
kemudian sekat-sekat itu membuat kita jadi sulit saling memahami? Mengapa mesti
ada representasi Tuhan dalam berbagai versi?” (halaman 124)
Pembaca
nanti akan disuguhkan dengan jawaban cerdas dari Margriet yang mengatakan wajar
bila muncul telaah kritis terhadap beberapa pemahaman keagamaan dan pemahaman
beragama umatnya seperti yang dimaknai oleh Fajar sebagai pertanyaan pencarian tentang
Tuhan. Hanya, representasi mana yang akan menjadi konsep panduan umat? Apakah
yang bersifat wahyu ilahiyah ataukah yang sudah ditafsirkan oleh para
pengikutnya sesuai zamannya?
“Bagi saya, dengan berpikir,
kita akan mudah menemukan jalan menuju-Nya. Bagi saya, jika sebuah agama bisa
meng-endorse umatnya untuk berpikir lebih dalam dan logis, bukan melulu
dogma-dogma, maka itulah agama yang “benar” bagi umat tersebut. (halaman 131)
Meski diskusi Margriet sudah panjang dan
lengkap, menurutku akan kembali lagi kepada pemahaman masing-masing manusianya.
Bukankah agama adalah proses pencarian yang cukup panjang, dengan demikian, peran
lingkungan, dalamnya pemahaman dan pengalaman selama pencarian jawaban itu akan
turut mewarnai keyakinan orang tadi.
Dengan
gaya menulisnya yang feminim, Ifa Avianty sudah cukup berusaha memberi warna
lain dalam tema novelnya kali ini yang dimasukkan Indiva ke dalam pemenang
juara ke tiga Lomba Novel Inspiratif Indiva. Dengan gayanya yang kadang
diselipi humor, penulis menulis berselang-seling karakter tokohnya dengan POV
1. Dengan adanya tulisan keterangan siapa karakter tokoh yang sedang ditulis
membuat saya tidak kesulitan mengikuti alur cerita meski alurnya maju mundur.
Untuk typo, saya masih menemukan typo di beberapa kata, seperti “seorangpun”
seharusnya ditulis “seorang pun”, “apapun” seharusnya “apa pun”, dll.
Setting Jakarta tempo dulu dengan
penyisipan roti klasik bernama roti Tan Ek Tjoan dan es dung-dung sukses
membuat pembaca serasa terlempar ke mesin waktu di tahun 90-an. Yang kurang
terasa hanya di bagian setting kampus
Margriet mengajar, sulit membayangkannya ada di mana. Eh, apa memang ada kampus
bernama UINI ya? Beberapa pengulangan tentang low vision, kata "no" di dialog, dan juga istilah crown prince membuat saya mengernyitkan dahi. Kenapa harus diulang berkali-kali ya seakan penulisnya merasa penjabaran di awal novel tidak cukup untuk memberi penegasan karakter. Overall, 4 bintang
dari saya untuk novel ini. ;)
wah sepertinya menarik ya kak buku my avilla ini, jadi pengen baca saya kak ;)
BalasHapusSaya juga sudah baca buku ini :D
BalasHapuspenerbit indiva juga sedang mengadakan lomba novel inspiratif, Mbak Ila gak coba untu ikutan? :D
BalasHapusWah, saya baru tau mak, kalau seorangpun dan apapun itu harusnya dipisah ya :p hihi..
BalasHapusDalam EYD, partikel pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya, Mak. Kecuali untuk kelompok yang lazim dianggap padu. Kata-kata tersebut adalah adapun, andaipun, ataupun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun, kendatipun, maupun, meskipun, sekalipun, sungguhpun, dan walaupun. Di luar kata-kata tersebut tentu saja penulisannya dipisah alias tidak serangkai.
HapusKata apa pun terdiri atas kata apa dan partikel pun. Kata ini kalau diartikan menjadi apa saja, berbeda dengan kelompok kata yang lazim dianggap padu di atas.