Judul Buku : Ibuk,
Pengarang : Iwan Setyawan
Penerbit : Gramedia
Terbit : Cetakan pertama, Juni 2012
Tebal : 293 halm.
ISBN : 978-979-22-8568-0
“Seperti
sepatumu ini, Nduk. Kadang kita mesti berpijak dengan sesuatu yang tak
sempurna. Tapi kamu mesti kuat. Buatlah pijakanmu kuat.”
Masih belia
usia Tinah saat itu. Suatu pagi di Pasar Batu telah mengubah hidupnya. Sim,
seorang kenek angkot, seorang playboy pasar yang berambut selalu klimis dan
bersandal jepit, hadir dalam hidup Tinah lewat sebuah tatapan mata. Keduanya
menikah, mereka pun menjadi Ibuk dan Bapak.
Lima anak
terlahir sebagai buah cinta. Hidup yang semakin meriah juga semakin penuh
perjuangan. Angkot yang sering rusak, rumah mungil yang bocor di kala hujan,
biaya pendidikan anak-anak yang besar, dan pernak-pernik permasalahan kehidupan
dihadapi Ibuk dengan tabah. Air matanya membuat garis-garis hidup semakin
indah.
Bayek,
anak lelaki Ibuk satu-satunya telah mengubah banyak warna hidup mereka
sekeluarga menjadi lebih berwarna. Warna suram yang seringkali membayangi Ibuk
ketika mendidik anaknya sedari kecil hingga dewasa, membuat Ibuk selalu
bertekad untuk mengusahakan pendidikan bagi kelima anaknya; Isa, Nani, Bayek,
Rini dan Mira. Kerja keras Ibuk dan Bapak pada akhirnya menghadirkan pelangi
yang mereka nanti selama ini. Sebuah kehidupan yang jauh lebih baik dibanding
dulu.
Berawal
dari keinginan Bayek untuk kuliah dan tak hanya sekadar hidup sebagai anak
sopir angkot yang akan meneruskan pekerjaan bapaknya, Bayek menempuh pendidikan
di Bogor, menjadi mahasiswa berprestasi, hingga ia mendapat tawaran bekerja di
Jakarta dan New York. Sepuluh tahun kehidupan di New York ia lalui lewat
kehangatan kasih sayang dan nasihat ibuk via telepon. New York tak mengubahnya
menjadi anak yang kehilangan jati diri. Rumah di gang buntu selalu
mengingatkannya untuk berjuang mengangkat taraf hidup keluarganya tanpa
meninggalkan pijakan yang telah ia bangun. Sebuah rumah yang selalu
mengingatkannya untuk menjadi orang yang merindukan rumah sebagai tempat
berpulang.
“Hidup adalah perjalanan untuk membangun
rumah untuk hati. Mencari penutup lubang-lubang kekecewaan, penderitaan,
ketidakpastian, dan keraguan. Akan penuh dengan perjuangan. Dan itu yang akan
membuat sebuah rumah indah.” (halm. 79)
“Itulah hidup, Yek, memang mesti dijalani
dengan kuat, tabah. Dengan perjuangan. Rasa enak itu baru terasa setelah kita
melalui perjuangan itu.” (halm. 240)
Bapak
yang melewati masa hidupnya selama menjadi sopir angkot, akhirnya merasakan
kehidupan yang lebih ‘nyaman’ setelah Bayek membantu keluarganya. Rumah
dibangun, kakak dan adiknya kuliah, membiayai pernikahan saudaranya, hingga
membangun kosan untuk Bapak. Bayek menggenggam dunia lewat pendidikan yang ia
rasakan sedari kecil. Salut dengan ibu yang memiliki dedikasi penuh pada
anak-anaknya, sembari memberikan visi hidup agar anaknya selalu menjadi orang
yang lebih baik.
Kisah di buku
ini sekilas mirip dengan tema buku Laskar Pelangi yang ditulis Andrea Hirata,
ya semacam from nothing to be something.
Seseorang yang akhirnya menjadi ‘orang’ setelah melewati perjuangan panjang
memecah jalur kemiskinan yang mengekang kehidupan. Meski temanya serupa, tapi
menurut saya, buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang ingin meneladani
semangat Bayek mengubah hidupnya. Penulisnya, Iwan Setyawan mengisahkan kisah
hidupnya sendiri di buku ini, meski lewat fiksi, tapi saya merasakan
semangatnya untuk berbagi pengalamannya agar anak-anak sopir angkot sepertinya
tergugah untuk menjadi lebih baik. Anyway,
4 bintang untuk buku ini.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung ya. ^_^