Judul Buku :
Happily Ever After
Pengarang : Winna
Efendi
Penerbit : Gagas
Media
Terbit : Cetakan
ketiga, 2015
Tebal : 358 hlm.
ISBN : 979-780-770-2
Rating : 4/5
bintang
Resensi Buku :
Tak ada yang kekal di dunia ini. Namun, perempuan itu percaya, kenangannya akan tetap hidup, dan ia akan terus melangkah ke depan dengan berani.
Lulu
kecewa karena sahabatnya menjauhinya, melakukan intimidasi di sekolah dan
mengambil kekasihnya, Ezra. Tak pernah ada kata perpisahan, yang ada hanyalah
berkali-kali kesedihan yang muncul saat Lulu mendapatkan tekanan dari mantan
sahabatnya, Karin. Gadis itu yang dulu berbagi rahasia dengannya, berbagi
impian dan kisah lewat jurnal pribadi, juga tempat favorit yang sering mereka
jelajahi. Sayangnya, kehadiran Ezra justru membuat Karin ingin memiliki cowok
itu sebagai miliknya. Lulu kecewa atas pengkhianatan yang terjadi, ia masih tak
menyangka bahwa sahabatnya telah menghilang dari dunianya.
Suatu
hari kabar menyedihkan datang, ayah Lulu yang selalu mendongengkan cerita
sebelum tidur kini divonis kanker. Lelaki yag aromanya menguarkan wangi kayu,
arsitek terbaik kebanggaan anak gadisnya itu, kini harus menjalan perawatan
intensif demi kesembuhan dirinya. Ayahnya berkali-kali meyakinkan diri endiri
bawa ia baik-baik saja. Namun perawatan kemoterapi dan radiologi telah
merenggut daya hidupnya. Hingga yang tersisa hanya tulang yang melekat di
kulit. Lelaki itu yang memberikan kebahagian pada Lulu lewat dongeng-dongeng
pengantar tidur. Kini Lulu bertanya-tanya adakah bahagia selamanya di dunia
ini?
Saat
Lulu harus menemani ayahnya menjalani perawatan di rumah sakit, ia berkenalan
dengan Eli, cowok yang seumuran dengannya. Eli harus melepas impiannya untuk
masuk seleksi Olimpiade renang saat ia divonis tumor otak. Ia yang membawa
kamera polaroid kemana-mana, menangkap tawa dan kesedihan lewat gambar. Lulu
dan Eli dekat hingga muncul perasaan lain di antara mereka. Akankah Lulu selalu
bersama Eli selamanya, seperti dongeng yang selalu dikisahkan dalam buku
dongeng?
***
Membaca
novel Happily Ever After serasa masuk ke dunia dongeng. Dunia yang membawa
keajaiban bagi pembacanya. Dunia yang rasanya unik, asing namun istimewa karena
gambaran rumah kayu Lulu terasa dan nyata. Kalau di dunia nyata ada rumah kayu
sebagus itu pasti bakalan banyak yang suka juga.
Novel
karya Winna Efendi ini terasa hangat karena kisah ayah dan anak yang dituturkan
oleh pengarang membuat saya sebagai pembaca ikut larut dalam kisahnya. Bagaimana
perjuangan ayah Lulu untuk terus bertahan hidup dan Bunda yang sulit
mengeskpresikan emosi pada anak tunggalnya saat ayah tiada, Eli yang berbagi
mimpi-mimpi dan harapannya, dan drama persahabatan Lulu dengan Karin. Rasanya
serasa melihat paduan yang memikat.
Ini
kali kedua saya membaca novel Winna, formula novelnya masih seputar sahabat
jadi cinta, tapi kali ini menurut saya aromanya sendu sekali. Seperti melihat
film melankolis diputar dan berharap akhirnya happy ending, walau nggak tahu
juga bakal gimana si tokoh menghadapi hidupnya tanpa orang-orang penting yang
pernah membersamainya. Saya tahu bagaimana rasanya kehilangan sahabat yang dulu
pernah ada dalam hidup. Rasanya hampa, tidak percaya kalau akhirnya berakhir
begitu saja, juga sedih dan kecewa.
Winna
pandai menggambarkan bagaimana emosi tokohnya masuk dalam cerita sehingga tidak
terasa monoton. Saya sampai melanjutkan membaca saat terbangun pukul 2 pagi.
Yah, bisa dibilang romancenya dikit. Novel ini lebih ke novel family dan
persahabatan. Kalau ada bumbu romantisnya itu sedikit sekali, demi memberi
sentuhan manis ala anak-anak remaja.
Paling
suka bagian Lulu bertualang menemukan tempat-tempat rahasia favoritnya. Seperti
menemukan kembali keriangan masa kecil waktu bertualang ala Enid Blyton. Seru
dan mendebarkan. Kebayang deh gimana rasanya saat Karin dan Lulu menemukan
tempat favorit mereka dan menempatinya selama bertahun-tahun sebagai tempat
bermain. Saat Lulu ikut kemah dengan ayah sambil melihat bintang-bintang. Atau
saat ayah dan bunda berbagi lagu dan berdansa bersama. Romantis~ :D
Karakter
ayah di novel ini sangat kuat, buat saya seperti melihat bagaimana ayah yang
bisa dicintai oleh anaknya. Nggak semua ayah bisa jadi sahabat anak
perempuannya. Tapi menurut saya ada kejanggalan. Kalau ayahnya dekat dengan
anak harusnya sih Lulu nggak pacaran dengan Ezra. Karena biasanya kedekatan ayah dengan anak mampu membuat anak ingin terus berada di samping keluarganya saja.
Nggak kepikiran untuk pacaran. Berarti sebenarnya Lulu masih membutuhkan sosok
ayah dalam intensitas yang lebih sering. Sayangnya ayah Lulu terlalu sibuk dengan
proyek-proyeknya.
Saya
juga melihat kesedihan di mata Karin. Sebagai mantan anak nerd yang dicap cupu dan
nggak populer, tentu ia nggak mau dibully terus oleh temannya. Makanya ia
berubah. Tapi saya ngerasa tindakan Karin seperti tindakan anak remaja pada
umumnya yang sangat ingin keluar dari kehidupan yang tak menyenangkan. Lebih
memilih mengambil jalan hidup yang bersebrangan dengan sahabatnya demi
menjalani kehidupan yang dianggap lebih baik. Nggak bisa menyalahkan Karin
sepenuhnya sih ya. Persahabatan ada masanya memang harus diuji dengan waktu.
Dan pada akhirnya setiap orang akan berkenalan dengan orang lain dan mungkin
saja ia berubah seiring waktu. Tidak sama lagi seperti dulu. Ya, lagi-lagi ini
pilihan hidup. :)
Kalau
karakter Eli, saya sukanya karena dia berusaha baik-baik saja, tegar, meski
sebenarnya dia rapuh. Tapi kekonyolannya saat bercanda dan kekompakannya dengan
Mia bikin iri deh. Seru kali ya punya kakak kayak Eli yang keren dan ganteng.
:p
Ada
beberapa quote yang saya suka dalam novel ini.
Pada umumnya, orang-orang punya insting defensif – sebelum ditinggalkan, mereka akan meninggalkan lebih dulu. Itu juga risiko jadi orang sakit – kehilangan orang-orang di sekitarnya.” (hlm. 127)
“Aku percaya dasar hubungan manusia bukan di sini, Lu. (kepala) Tapi di sini. Hati yang melihat, hati yang merasakan, hati yang tahu.” (hlm. 145)
“Kadang-kadang, orang yang pergi akan kembali ke sisi kita. Itu yang kunamakan kesempatan kedua. Tapi nggak jarang juga mereka yang pergi akan hilang selamanya. Dan, yang menyedihkan adalah nggak sempat mengucapkan selamat tinggal.” (hlm. 157)
“Cinta bisa datang kapan saja, dari mana saja. Bisa dari orang-orang terdekat yang selama ini ada di sampingmu, bisa juga dalam sosok seseorang yang baru saja dikenal. Tapi, asal cinta nggak penting. Yang penting adalah menjaga perasaan yang kalian bagi.” (hlm. 256)
Overall,
4 bintang untuk novel Happily Ever After yang covernya manis ini. :)
Iya, Mbak. Ini novel auranya sendu. Saya dilingkupi kesedihan sepanjang membacanya.
BalasHapusIya, sedih banget, mba Yanti. Aku jadi kepikiran terus tentang para tokohnya abis baca ini dan kelar ngereviewnya. Sedihnya Lulu pun punya masalah yang kompleks. Ya, kehidupan ya, mba.
Hapus