Langsung ke konten utama

[Resensi Buku] On The Origin of Sh!tty Generation by @millennialsshit (Blog Tour)

 



Judul Buku : On The Origin of Sh!tty Generation

Penulis : @millennialsshit

Penerbit : Bhuana Ilmu Populer (BIP)

Terbit : Cetakan Pertama, 2021

Tebal : 160 halaman

ISBN : 978-623-216-838-1

Rating : 4/5 bintang

Harga buku : Rp 99.000

Baca di aplikasi Gramedia Digital

 

Sinopsis Buku :


Mungkin lo pernah ngalami, di suatu pagi yang ‘fitri’, lo nyalain TV, dan tiba-tiba lo nemuin cuplikan acara reality show yang katanya mengangkat tema kehidupan milenial. Millenials yang katanya nggak mungkin punya rumah karena hasil kerja keras tanpa jedanya cuma abis buat beli boba.

Millennials yang katanya baru lulus langsung minta gaji gede, padahal nulis email lamaran kerja aja nggak becus. Millennials yang katanya super narsis, baik cuma sekadar selfie sampai ke aktuaisasi diri. Millennials yang katanya selalu impulsif dalam berhedonisme.

Millennials dan reputasinya yang buruk sudah pasti udah sering banget didengar atau dibaca di berbagai artikel yang viral. Walaupun (syukurnya) belakangan juga kenceng berbagai gerakan, seminar, dan lain semacamnya yang mengajak masyarakat untuk lebih memahami millenials dan sifat mereka.

Jadi sebenarnya siapa sih millennials itu? Anak-anak SMA berusia belasan yang digambarkan di reality show? Atau anak-anak kuliahan yang ada di iklan-iklan itu? Tolak ukur milenial itu apa sih? Tahun lahir? Atau status? Kalok orang udah nikah, masih milenial nggak sih?

 

Resensi Buku :

 

Milenial itu generasi yang kayak gimana sih? Pertanyaan itu bikin saya makin penasaran dengan definisi milenial yang beredar di social media. Selama ini milenial selalu dikaitkan dengan stereotype yang ada. Misalnya : generasi narsis, terpaksa jadi generasi sandwich, dilabeli sobat misqueen di twitter, bahkan pecinta boba dan kopi kekinian garis keras club. Ya, nggak dipungkiri bahwa millenial ini punya segmentasi yang sangat identik dan unik.

Selain loyal untuk menghamburkan uang demi kesenangan yang hanya sekali seumur hidup alias YOLO, mereka juga punya keinginan untuk terus eksis dengan segala keterbatasan yang ada. Makanya, karakter generasi milenial yang kaya gimana yang sebenernya sering diliat sama orang lain? Jangan-jangan definisi milenial di antara kita begitu rancu dan tidak memiliki standar baku yang menjadi acuan untuk melihat karakter generasi yang satu ini.

Milenial juga sering dijadikan target market, padahal di sisi lain mereka dianggap sebagai generasi yang suka hedon dan nggak bisa nabung. Nah lho? Kok jadi serba ruwet gini? Wekeke

 

“Dengan jumlahnya yang kurang lebih ada 63 juta jiwa, milenial punya daya beli yang tinggi. Makanya, kalau lo cukup peka dan merhatiin, hampir setiap barang dijualnya ke target milenial. Eh, tapi itu kalau lo peka ya. Kalau nggak peka sih... ya pantes dari 63 juta jiwa di Indonesia, lo masih jomblo aja. Hehehe!”

 



Anyway, kalian pada nyadar nggak sih, kalau hampir semua aktivitas generasi milenial bisa dilakukan secara digital. Mulai dari belanja online di marketplace, nyari berita update di Line Today, dengerin musik di Spotify, nonton streaming film dan drama di Netflix, nyari kerja pun bisa via online, bahkan berantem pun via online. Lol. Bener-bener beda kan dengan generasi lainnya?

 

“Berubahnya pola hidup di era milenial ini yang bikin generasi terdahulu ngerasa terganggu, lalu akhirnya melabeli kita-kita ini dengan berbagai stigma negatif. Dan sebenernya, ini bukan hal yang baru. Hal kayak gini selalu terjadi dari zaman ke zaman, generasi ke generasi.”

 

Di generasi sebelumnya, ada generasi bernama Yuppier, Hipster, Henrys, dan Yuccies. Istilah ini emang agak kurang familiar buat sebagian orang. Kalau saya tahunya Hipster aja, hehe. Ngomongin soal generasi Yuccies, saya jadi mikir apa memang generasi ini makin unik ya.

 

Misalnya generasi Yuccies itu outfitnya antara lain bawa backpack yang isinya macbook, note, dan ipad, trus selalu pakai lanyard company yang menandakan ia bekerja di startup, selain itu selalu beli coffee cup on the go dan sibuk dengan personal branding di social media.

 

Plus... jangan lupa dengan satu hal lagi : profit. Generasi Yuccies ini seneng mikirin profit dari setiap pekerjaan yang dilakukannya. So, ya begitulah. Lucu juga ya stereotype berdasarkan generasi-generasi lainnya. Generasi kaya gitu bisa dilihat dari cara berpikir, tujuan, outfit, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya juga.

 

“Semua label milenial, dari generasi Y sampai generasi micin, adalah sebuah label yang memukul rata generasi kita. Selain karena label tersebut nggak bener sepenuhnya, tapi juga karea generasi kita terlalu beragam jenisnya untuk diberikan satu label saja.”

 

Kalau dipikir-pikir iya juga sih, dengan segala macam referensi yang ada di dunia maya alias online kita nggak bisa menggeneralisir karakter orang karena semua orang bisa berkembang sesuai dengan paparan informasi yang didapatnya lewat internet dan lingkungan sekitar. Jadi, ya begitulah. Dunia milenial sangat kompleks, namun sangat membuat penasaran.

 

Di buku ini dibahas tentang berbagai karakter milenial. Misalnya Pithecorporat Slavikus (budak korporat), Pithestartupus Slavikus (cah-cah startup), Pi-K-Pop-Armius (Anak KPOP ARMY garis keras), Pithecanhypebeast Javanicus (Anak Hypebeast berbranded mahal dari ujung rambut ampe ujung kaki), dan Sapiens (pecinta alam, penikmat senja sambil dengerin lagu indie dan duta iklim ala Greenpeace).

 

Selain itu, seperti yang dibilang penulis buku ini, “Modern problems require modern solutions.” Jadi, cara generasi milenial bertahan dan menyelesaikan masalah juga berbeda dengan  generasi sebelumnya. Misalnya :

 

How we survive to mancing gebetan tanpa malu karena ketauan orang?

Ngode lewat instastory, tapi follower yang lain dihide dulu.

 

How we survive to ngurangin tagihan bulanan?

Nebeng Netflix orang.

 

How we survive to keliatan up to date, tapi males nonton atau baca berita?

Baca headline line today.

 

How we survive to menunjukkan eksistensi?

Posting foto di tempat-tempat hits dan mahal.

 

How we survive to nunjukkin eksistensi, tapi nggak punya budget?

Orang nggak perlu tahu kalau kita bokek dan nggak bisa liburan. Tapi semua orang harus tahu kalau kita lagi baca buku dan kita suka minum kopi.

 

Ya, zaman generasi milenial sekarang beda banget kan dengan zaman dulu? Hehe. Kalau dulu kita nonton film di bioskop dan nunggu tayangan di tv favorit pas primetime, sekarang kita bisa dengan bebas nonton film di mana aja dan kapan aja, bahkan di base pendakian gunung sekalipun yang penting ada sinyal dan laptop kan? Wkwk. Makanya pas muncak ke semeru saya kaget dong ada rombongan pendaki yang lagi nonton film Dilan dan ketawa-ketawa niruin jokes receh ala Dilan di base pendakian, “Millea, kamu ga akan kuat, biar aku saja.” Lol. Hahaha :p


ig story buat ngodein gebetan. lol


Selain itu, buat keluar dari kejombloan yang makin gelap bahkan banyak generasi milenial yang nyobain aplikasi biro jodoh kek Tinder, ikutan event #BiroJodoh tiap malem minggu di twitter, atau samber hore di ig story gebetan. So, ya emang beda banget kan dengan generasi sebelumnya yang masih malu-malu karena interaksinya hanya sebatas kirim surat lewat teman sebangku yang diiderin (apa sih bahasa indonesianya wkwk, diputer keliling) ke meja gebetan. Sekarang mah ngode gebetan bisa lewat ig story. Lol

 

Sekarang pun kalau laper di akhir bulan, kita bisa tetep makan enak pakai voucher Grab atau Gojek. Trik ini bisa bertahan hingga voucher di aplikasi habis. Wkwk. Asli sih, hemat. Tapi ya beneran beda kan dengan generasi emak bapak kita yang lebih milih berhemat dengan masak sendiri di rumah. Hehe

 

Jadi, menurut kaum gimana? Milenial itu kayak gimana sih? Plus minus milenial yang paling kamu suka itu apa aja? Kamu masuk kategori milenial yang seperti apa? Hehe

 

Oiya, bahasan tentang buku On The Origin of Sh!tty Generation karya @millennialsshit ini akan berlangsung dalam bentuk blog tour di blog-blog lainnya juga. Jadi, jangan lupa buat kepoin bahasannya ya. Sekalian nanti di akhir periode bakalan ada hadiah menarik buat yang bisa jawab pertanyaan di Giveawaynya. Jadi, pastikan kamu baca resensi lainnya ya! ;)


Blog tour selanjutnya ada di blog www.lendyagasshi.com tanggal 16 Oktober 2021 ya!


 

  See you next post


Komentar

  1. Jadi merasa nih..kalau buku Rasanya percaya banget kalau buku On The Origin Of Sh!tty Generation memang tercipta dari pengalaman pribadi sang penulis.
    Hihii..pas dan bener banget.

    BalasHapus

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung ya. ^_^

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Gadis Kretek by Ratih Kumala

  Judul Buku : Gadis Kretek Pengarang : Ratih Kumala Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Terbit : Cetakan Ketiga, Juli 2019 Tebal : 275 halaman ISBN : 978-979-22-8141-5re Rating : 5 bintang Genre : Novel Sastra Indonesia Harga Buku : Rp 75.000 Baca Ebook Gadis Kretek pdf di Gramedia Digital Beli novel Gadis Kretek di Shopee (klik di sini)

[Resensi Buku] Sang Keris - Panji Sukma

  Sang keris Judul : Sang Keris  Pengarang : Panji Sukma Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Terbit : Cetakan Pertama, 17 Februari 2020  Tebal : 110 halaman Genre : novel sejarah & budaya ISBN : 9786020638560 Rating : 4/5 ⭐ Harga buku : Rp 65.000 Baca ebook di aplikasi Gramedia Digital ❤️❤️❤️

Resensi Buku Funiculi Funicula (Before The Coffee Gets Cold) by Toshikazu Kawaguchi

  Judul   Buku : Funiculi Funicula Judul Asli : Kohii No Samenai Uchi Ni (Before The Coffee Gets Cold) Pengarang : Toshikazu Kawaguchi Alih Bahasa : Dania Sakti Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Terbit : Cetakan kedua, Mei 2021 Tebal : 224 halaman ISBN : 9786020651927 Genre : Novel Fantasi - Jepang Rating : 4/5 bintang Harga Buku : Rp 70.000 Baca via Gramedia Digital Beli buku Funiculi Funicula di Gramedia.com