Judul Buku : A Diary of Genocide
Penulis : Atef Abu Saif
Penerbit : Noura Books
Terbit : 2024
Tebal : 420 halaman
ISBN : 9786232424326
Rating : 4,5/5 🌟
Baca di @rakatadotid
🩷🩷🩷
[Review Buku] A Diary of Genocide karya Atef Abu Saif:
Banyak orang yang tak menyangka bahwa serangan Israel ke Gaza tahun 2023 lalu akan berlangsung selama itu. Lebih dari 18 bulan dalam ketidakpastian. Mereka hidup terombang ambing tanpa tempat tinggal dan makanan yang layak.
Kau harus berjuang setiap saat untuk tetap hidup, tetapi tidak ada yang berubah.
Perang akan terus berlangsung. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan. Mereka terus mengkhawatirkan hal yang sama. Apakah kematian akan datang menghampirimu seperti yang dialami orang lain?
Penulis menyuarakan perlawanan yang terjadi di sana. Ia masih hidup hingga sekarang dan menuliskan apa yang terjadi di Gaza saat pembantaian terjadi.
Banyak jurnalis, penulis dan penyair yang dibunuh agar tak ada suara yang lantang terdengar menyuarakan kekejaman di Gaza.
Dunia perlu keluar dari narasi Israel yang menyebut serangan mereka sebagai tindakan pembelaan diri.
Walau banyak serangan yang dihantamkan ke Gaza, tapi semangat untuk tetap hidup di tengah krisis membuat mereka belajar untuk berserah dan tetap menyuarakan kebebasan Palestina.
Logika orang Palestina saat itu adalah bahwa dalam perang kami semua harus tidur di tempat yang berbeda. Jadi, jika ada anggota keluarga yang terbunuh, anggota keluarga lainnya akan tetap hidup. (Atef Abu Saif)
Yang miris, ada banyak rumah dan bangunan lainnya ambuk. Seluruh Gaza lumpuh total. Penduduk tidak bisa akses makanan, minuman, obat-obatan bahkan listrik dan internet juga tidak bisa diakses di beberapa tempat.
Penulis juga merasakan perang kali ini berbeda dengan Intifada pertama saat seluruh Gaza menjadi ladang pertumpahan darah. Semua orang berlarian melindungi diri dan keluarganya.
Semasa kecil, Atef Abu Saif pernah mengalami hal yang lebih buruk, saat ia terkena peluru tembakan musuh. Bahkan, ia pernah dianggap hampir mati karena sempat mengalami sekarat.
Semasa perang, kau akan sering kali merasa lelah dan bosan pada saat yang bersamaan. Kau harus berjuang setiap saat untuk tetap hidup, tetapi tidak ada yang berubah. Aku sering teringat saat ditembak ketika masih kecil, pada Intifada pertama, dan bagaimana Ibu memberitahuku bahwa sebenarnya aku sempat kati selama beberapa menit sebelum dihidupkan kembali.
Yang menyedihkan dari peperangan di Gaza adalah karena masyarakat global terutama PBB tidak memihak Palestina. Seolah Palestina dianggap bisa berjuang sendiri mengatasi masalah kemanusiaan ini.
Dunia tutup mata melihat kekejaman yang terjadi setiap hari di Gaza. Bantuan kemanusiaan juga tidak bisa masuk, bahkan dihalang-halangi dan logistiknya dihancurkan sebelum masuk ke Gaza.
Hak asasi untuk tetap hidup bagi para warga Palestina terancam. Tentara militer Israel terus menerus mencaplok wilayah Gaza hingga yang tersisa hanya sedikit saja.
Aku membaca berita untuk berbagai alasan, salah satunya adalah untuk mengetahui bahwa kau belum mati. Konon, orang mati tidak membaca berita; aku bisa saja salah. - Atef Abu Saif
Kini, apa yang bisa kita lakukan? Meskipun saat ini sudah ada upaya untuk gencatan senjata, namun penduduk Palestina masih belum bisa merasa lega karena gencatan senjata hanya membuat Israel berhenti sejenak. Bukan untuk selamanya. Tapi Israel hanya menginginka pertukaran tawanan, setelahnya kemungkinan peperangan lanjutan akan tetap terjadi.
Selagi wilayah Gaza belum bebas dari pertumpahan darah ini, genosida akan terus berlangsung.
Tanpa memandang siapa saja orang yang dibunuh, tentara Israel akan terus menerus berusaha mengaburkan pandangan dunia tentang apa yang terjadi di Gaza.
Tentara Israel akan terus menerus menghabisi anak-anak, wanita, ibu hamil, lansia, bahkan orang yang masih sehat demi memenuhi hasrat mereka untuk melenyapkan penduduk Palestina.
Selama air laut terus mengalir, kemerdekaan Gaza akan terus diupayakan. Hingga titik darah penghabisan.
Buku Diary of Genocide ini memberi gambaran yang realistis tentang apa yang terjadi di Gaza sana. Termasuk bagaimana perang membuat orang-orang Palestina merasa khawatir jika kehilangan harapan di tanah kelahirannya sendiri.
Di sekitarku, jeritan berubah menjadi tangisan ketika orang-orang di lobi menyaksikan rumah mereka ambruk.
Jika selama ini kita hanya melihat dari berita, maka buku autobiografi ini akan membawamu melihat Palestina melalui kacamata orang lokal yang mengalami genosida.
Diary of Genocide ini dituliskan selama berlangsungnya peperangan sejak Gaza dibombardir tahun 2023. Semoga Gaza segera bebas dan perdamaian terwujud di tanah Palestina, tanah para nabi.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung ya. ^_^