Judul : 10 Bersaudara Bintang Al
Qur’an
Penulis : Izzatul Jannah dan
Irfan Hidayatullah
Penerbit : Sygma Publishing
Terbit : Cetakan keempat, 2010
Tebal : 150 halaman
ISBN : 978-602-8096-91-1
Rating : 4/5
Zaman semakin
berubah, kehidupan yang tidak mudah pun makin sering kita jalani. Orangtua
merasakan susahnya mendidik anak agar menjadi anak yang baik dan shaleh. Apalagi
di tengah gempuran kebobrokan moral yang ada di sekitar kita saat ini,
tantangan yang dihadapi oleh orangtua tidaklah mudah. Untuk itulah, saatnya keluarga
kembali kepada Al Qur’an.
Keluarga Qur’ani
yang dibangun oleh visi misi berlandaskan Al Qur’an akan mampu menembus
rintangan zaman. Berinteraksi dengan Al Qur’an, kitab suci umat Islam merupakan
sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Berbekal keinginan yang kuat agar bisa
menjadi penjaga Al Qur’an di bumi Allah, maka Mutamimul ‘Ula dan Wirianingsih
yang merupakan orangtua kesepuluh bintang Al Quran yang telah mengantarkan
anaknya menjadi penghafal al Qur’an di usia yang belia. Anak-anak dididik
disiplin untuk berinteraksi akrab dengan Al Qur’an. Hal ini berawal dari
harapan sang Ayah yang ingin semua anaknya bisa berbakti pada orangtua lewat
hafalan. Namun seiring waktu, anak-anak yang merasakan beratnya menghafal,
akhirnya mulai terbiasa dan menjadikan hafalan Al Qur’an sebagai kebutuhan,
bukan hanya kewajiban.
Lalu, siapa
sebenarnya Wirianingsih dan Mutamimul ‘Ula? Wirianingsih atau biasa disapa Wiwi
adalah pemimpin tertinggi salah satu organisasi Muslimah yang cabangnya
meliputi 150 kota di Indonesia. Sementara Pak Tamim adalah anggota DPR RI. Jika
yang dididik adalah satu anak, hal ini wajar, tapi mengingat kesibukan kedua
orangtua tersebut, rasanya mendidik anak menjadi penghafal Al Qur’an adalah
sebuah keistimewaan. Apalagi jumlah anaknya ada 10 orang, kesemuanya
menyelesaikan hafalannya di usia belia.
“Saya tidak
melewatkan masa-masa penting usia emas perkembangan anak. Saya selalu berdoa
setiap hari, setiap saat dari anak kesatu sampai dengan anak kesepuluh, agar
mereka menjadi generasi unggul.”
Pak Tamim
mengirim anak pertamanya ke pesantren tahfidz. Putra pertamanya tinggal di
pesantren sejak kelas dua sekolah dasar. Dan berhasil menjadi hafidz. Beberapa
aturan dalam menghafal diadaptasi dari lingkungan pesantren. Seperti program
satu jam berinteraksi dengan Al Qur’an.
Ada pula aturan yang sudah disepakati
berdasarkan musyawarah seluruh anggota keluarga, ditulis secara rinci, dilaminating,
dan ditempel di dinding. Tata tertib itu ketat mencakup beberapa hal. Yaitu berhubungan
dengan: asas-asas hubungan antarkeluarga, ketentuan rumah tangga, kegiatan
belajar mengajar, kegiatan makan minum, adab menerima tamu, pakaian, listrik,
peralatan elektronik, perpustakaan dan buku, kamar mandi, kamar tidur, ruang
dapur, pesawat telepon, mobil, sepeda motor dan menjaga keamanan. (halaman 50)
“Ketika kecil,
keterpaksaan itu jelas ada karena saat itu ada kecenderungan perasaan malas. “
(Afzalurahman, anak pertama)
Dengan
keteladanan yang diajarkan orangtuanya secara langsung, meski merasa terpaksa,
anak-anak akhirnya menerima aturan itu sebagai sebuah kesepakatan. Di mana,
orangtua pun memberikan apresiasi bila anaknya berhasil dalam menghafal. Ada
award yang akan diterima sang anak, sesaat setelah mendapatkan prestasi dalam
sekolah maupun hafalan. Setiap anak beda-beda, jadi jika anak pertama suka
barang A, maka ia mendapat apa yang dia inginkan, beda lagi dengan anak kedua
yang suka barang B. Pendekatan personal ini yang membuat apresiasi yang
diberikan tepat sasaran.
“Hikmah menghafal
Al Qur’an banyak sekali. Yang jelas merasa punya suatu tanggung jawab, terutama
implikasinya pada kehidupan sehari-hari. Wallahua’alam. Waktu saya belajar
terasa jadi lebih gampang. Prestasi pun nggak jelek-jelek amat. Teman-teman
banyak nanya. Kesibukan kan banyak, emangnya bisa ngatur waktu sama belajar?
Justru bagi saya belajar jadi lebih mudah, banyak terbantunya. Saya kan,
belajar di Syar’i jadi banyak berinteraksi dengan Al Qur’an.” (Maryam, putri ketiga)
Beberapa kunci
sukses menjadi hafidz qur’an antara lain : bacaan al qur’an yang benar, niat
yang ikhlas dan pemahaman akan fadilah yang benar, menjauhi kemaksiatan dan
dosa, memanfaatkan masa muda, memanfaatkan waktu efektif dan waktu luang untuk
repetisi hafalan, memilih tempat yang tepat, motivasi yang kuat dan tekad yang
benar, mengoptimalkan seluruh indera, menggunakan satu cetaan mushaf, bacaan
yang baik dan benar, hafalan yang saling berikatan dan memaknai hafalan. (halaman
136)
Tantangan untuk
mewujudkan keluarga Qur’ani yang hakiki insya Allah akan dengan mudah dilalui.
Bila Al Qur’an tidak hanya sekadar dihafalkan, namun juga diamalkan, dimaknai,
dan diwujudkan dalam seranai peradaban.
Wah jadi malu dengan diri saya sendiri, sampai saat ini baca Al-Quran tidak lancar... :(
BalasHapusHehe, iya, sama, kak. Anak-anak pak Tamim rata-rata sudah bisa baca Al Qur'an usia 5 tahun dan mulai menghafal di usia yang sama. Keren ya. :D
Hapusseperti mengingatkanku untuk lebih rajin baca Al Quran...
BalasHapusSepakat mbak :)
HapusSama, bun. Semoga makin dekat dengan Al Qur'an dan bisa mengamalkan ajarannya.
HapusMakasih, Mba Ely :)
HapusWaah subhanaAllah yaa... orang tua luarbiasa yang sangat berbahagia InsyaAllah.
BalasHapusTapi mostly anak2 dikirim dari usia dini ke pesantren tahfiz ya mba. Jujur buat saya itu hal yang paling berat... Cita2 sih maunya, si bungsu jagoan bisa diarahkan ke sana. Tp susah bgt ngelepasnya, kayaknya gak rela gt :)
Setidaknya pelajaran dr Pak Tamim n Ibu Wiwi, menyemangati kita utk menjadikan Al Quran bagian dr suasana di rumah ya mba..
salam kenal dari www.yaumilakbarfirdaus.com.
BalasHapusseorang bloger yang tinggal jauh dari keramaian kota.
Masya Allah, keren banget ya mbak :) Yang paling keren adalah orangtuanya, mereka bisa mencetak generasi Qur'ani..
BalasHapus