Kesan tentang
seorang sahabat akan selalu terasa nyata dan ada. Akan selalu terpatri di hati,
meski ia sudah meninggal dunia. Pun sama dengan yang dirasakan oleh Yudho yang
menjadi sahabat Malik. Ia masih mengingat dengan jelas mimpi-mimpi yang
dikisahkan Malik. Yudho dan Malik bersahabat. Keduanya dekat, bahkan saling
mendukung satu sama lain, meski strata sosial mereka jauh berbeda. Malik anak
orang berada, Yudho miskin. Malik yang jatuh cinta pada Hesti, seorang gadis
penghafal quran pun, menanyakan perihal kesediaan gadis itu untuk dilamar.
Sayangnya, jawaban Hesti belum Malik dapatkan. (halaman 71)
Idealisme
yang dibangun Malik saat ia ingin mencalonkan diri menjadi kepala desa, mengetuk hati Yudho. Ia
ingin pembangunan di kampungnya yang belum merata, segera terselesaikan. Salah
satu cara dengan mengajukan diri menjadi kepala desa. Sesaat sebelum Malik
mencalonkan diri, ia meninggal dalam kecelakaan. Demi Malik, Yudho bertekad
ingin melanjutkan impian yang tertunda itu.
Meski
halang rintang tak mudah dilalui. Yudho harus melewati masalah yang berliku,
mulai dari intrik kecurangan surat suara, hingga harus berurusan dengan orang
kampung yang lebih percaya pada mitos tentang jas yang diberikan dukun untuk
memenangi pemilihan. Dukun?! Bagi Yudho, mempercayai dukun itu pamali. Tidak
boleh dilakukan, apalagi hanya demi mengejar tahta. Tapi, bagaimana dengan
stereotip yang sering terjadi di masyarakat? Bahwa kemenangan politik identik
dengan kekuatan mistis yang menyokong dibalik keberhasilannya.
“Jas
itu adalah sarana yang diberikan dukun itu! Barang siapa yang mengenakan jas
Ontokusumo waktu pemilihan, pasti ia yang akan menang! Itu sudah terbukti dari
beberapa kali pemilihan yang lalu lho!” (halaman 177)
Jika
orang lebih percaya ajaran sesat yang dikenalkan para dukun, maka apa yang akan
terjadi di masyarakat jika pemimpinnya saja percaya hal seperti itu? Meski
ngeri membayangkan bagaimana nasibnya nanti, Yudho tetap saja melajukan impian
Malik. Baginya, tak ada yang bisa menghalangi keinginannya, berbekal keyakinan
dan dukungan, ia melangkah.
Drama
demi drama dalam hidup Yudho pun dimulai. Jika selama ini Yudho tak pernah
punya musuh, sejak ia mencalonkan diri, ia mendapatkan teror dari
kelompok abangan. Mereka yang merupakan preman sering melakukan
kekerasan, mereka dibayar oleh orang yang merasa posisinya menjadi calon kepala
desa terancam(halaman 191). Bagaimana akhir dari kisah Yudho? Baca saja buku
ini.
***
Pertama kali
tahu bahwa Mba Ella Sofa telah menerbitkan buku ini, saya takjub membaca
perjuangannya dalam menyelesaikan proses penerbitan hingga naskah fix di tangan
editor. Jujur, butuh perjuangan keras bagi seorang penulis untuk menyelesaikan
revisi bertubi-tubi seperti yang mba Ella tulis dalam postingannya di sini. Ada banyak coretan editor yang tentu
membuat penulis harus memoles naskahnya hingga menjadi sebuah naskah siap cerna
dan layak untuk diterbitkan. Apalagi penerbitnya adalah sebuah penerbit yang
sudah punya nama : Quanta Elexmedia.
Jika menilik
judul dan sinopsis bukunya, novel ini memberi kita keberagaman informasi lewat
alur ceritanya yang dinamis. Saya belum pernah membaca buku bertema politik,
meski dulu pernah masuk dalam organisasi intra kampus yang sering membahas
tentang demo dan sebagainya. Ah, politik memang naif. Memberi sisi diri sebuah
dilema seperti yang dialami oleh Malik dan Yudho. Karena sebuah janji dan
idealisme yang sudah terlanjur terpatri, Yudho akhirnya meneruskan perjuangan
Malik untuk tetap mencalonkan diri sebagai kepala desa.
Novel ini
menurut saya cocok untuk iklim saat ini. Apalagi menjelang pemilihan presiden
2014. Jika pun editor sampai meloloskan naskah ini dan siap terbit dalam waktu
yang singkat, itu artinya mba Ella berhasil mengemas naskahnya menjadi cerita
yang memang punya nilai jual. Editor pun biasanya melihat sisi market value
sebuah naskah. Jika dalam sebuah naskah ada peluang untuk diterbitkan, maka
editor akan meminta pertimbangan bagian marketing untuk berdiskusi dengan yang
lain membahas apakah karya ini akhirnya bisa naik cetak.
Pemilu sudah berlangsung tahun ini, tinggal menghitung bulan untuk merasakan hingar bingar pemilihan yang lebih gencar dengan aroma black campaign seperti yang dialami oleh Yudho. Saya rasa, buku ini bisa menjadi salah satu pilihan untuk menilik apa saja
intrik dalam sebuah politik dan juga membahas tabir kematian sang pelaku
politik tersebut lewat sebuah karya fiksi.
Situasi dan unsur lokalitas di daerah Jepara sebagai setting terjadinya konflik ini sangat kuat ditambah dinamika pergerakan satu adegan dengan adegan lainnya yang terasa begitu cepat membuat saya menyelesaikan novel ini dalam waktu singkat. Hanya saja, karakter Hesti belum dieksplore dengan lebih banyak. Intrik yang
rumit hingga membawa pada ancaman kehilangan nyawa sudah sering saya dengar
saat di kampus. Jadi, bagaimanakah jejak langkah para politisi yang nyata-nyata
ada di tingkat yang lebih massif seperti kepala desa?.
Apa kamu
berminat untuk membacanya? Sebuah buku yang semoga menjadi bagian dan lahan
amal bagi penulisnya karena memberi pencerahan untuk tetap berpegang pada
idealisme dan menjadikan agama sebagai penopang hidup. Sukses untuk mba Ella
Sofa ya. Semoga bukunya laris manis. :)
Judul
Novel : Temui Aku di Surga
Penulis
: Ella Sofa
Penerbit : Quanta, Imprint dari Elex Media
Komputindo
Tebal buku
: 228 hal.
Terbit : 2013
ISBN : 978-602-02-1360-6
Terbit : 2013
ISBN : 978-602-02-1360-6
Harga Buku
: Rp. 44.800,-
Saya berminat untuk membacanya. Sepertinya buku ini menarik karena terlihat penuh tantangan dalam hal politik. :D
BalasHapusMenurutku bagus, Lana. Soalnya kata penulisnya pun, udah melewati revisi2 yang cukup banyak. Jadi hasilnya memang bagus.
HapusWah... temanya gak biasa, ya? Menarik sekali. Dan ya, cocok dengan keadaan sekarang yang memang lagi rame pemilu. Jadi pengen baca bukunya. TFS. ^^
BalasHapusIya, mba Nia. Lagi rame pemilu, jadi buku ini bisa jadi salah satu pilihan kalo suka novel bertema politik ;)
HapusAku tadi mikir, apa menariknya novel yang bertemakan politik ya? Namun justru disitu nilai lebihnya ya? :)
BalasHapusiya, mba. lagi ambil moment yang pas nih, di tahun politik yang panas, hehe
HapusBukunya terbaca sangat 'masa kini', karena ada intrik pilkades kali ya ^^
BalasHapusAku suka dengan penulis yang bisa memanfaatkan moment, jadi tertarik sama penulisnya. Eh, resensinya asik loh :)
Makasih, kak :D Iya, pas momentnya, hehe
HapusSukses juga untuk Ella Sofa. Salam kenal dari Adelays,
BalasHapusSekalian memberikan informasi kalau berminat ikut lomba ngeblog berhadiah Rp. 12.500.000, saya share disini :
http://adelays.com/2014/05/02/lomba-nge-blog-berhadiah/
Yups, makasih linknya, kak. Meluncurr :D
HapusPerdukunan yang kerap mewarnai kancah politik di Indonesia hadir ya di Novel ini. Kerenn
BalasHapusJadi inget kasus calon pejabat yang mandi di sungai beberapa bulan lalu deh, mba. Setelah baca ini jadi keinget itu.
Hapustemanya beda banget ya ka..
BalasHapusSudut pandangnya cowok lagi ya, padahal penulisnya cewek :D
Iya, Ran. Sudut pandangnya cowok banget. Hihi :D
HapusMembaca resensi ila jadi kepengen membaca buku ini..:)
BalasHapusyuk, dibaca, mba pu :D
Hapuskeren Ila resensinya. makasih ya sudah sharing tulisan ini.
BalasHapusmakasih, mba ade :D
Hapusresensinya kereeeen, ternyata aku belum pernah baca karya mba Ella sofa *niat beli
BalasHapusayo dibeli, mba sarah :D
HapusBuku baru Mbak Ella ya? Wahhh ... setting lokal, Jepara. Patut dicari dan dibeli nih^^
BalasHapusbuku mba ella lho, bukan leyla hana :D ayo dibeli, tha ;)
Hapus