Judul Buku : ENJU – A Little Boy That
Changed My Life
Penulis : Ihwan Hariyanto
Terbit : Januari 2014
Tebal : 161 halaman
Penerbit : Mozaik Indie Publisher
ISBN : 978-602-14907-2-3
Rating : 3/5
Rating : 3/5
Resensi Buku :
Pada hari yang selalu kutunggu
membayangkanmu, lekaslah mendengar jerit tangis pertamamu
Maka ketika masa itu tiba, gemuruh hatiku menyerbu
Bagaimanalah kau mencari jalan keluar, hingga kuasa tangan manusia-Nya
membantu
Aku tetap berjuang demimu, Nak
-Ivonie Zahra
Menjadi seorang ayah adalah sebuah kebanggaan bagi seorang
lelaki yang sudah menikah. Ia begitu mendambakan mengadzani seorang bayi yang
lahir dari rahim perempuan yang dicintainya, bayi yang kelak akan memanggilnya
papa.
Jika setiap anak adalah permata kebanggaan orangtuanya,
maka Ihwan Hariyanto, sang penulis buku ini pun menganggapnya demikian. Ia
memiliki cita-cita suatu saat akan membukukan kisah pengalamannya selama menemani
masa kehamilan istrinya, Ivonie Zahra. ENJU, janin yang begitu didambakannya
itu pun sempat mengalami stress yang membuat sang ibu harus sering bedrest.
Bahkan Dr. Maria yang selama ini menjadi dokter mereka, akhirnya sempat memvonis
sang janin. Jika janin itu tak kunjung membaik dengan detak jantung berada di
bawah angka 100 bahkan sesekali turun hingga angka 50 dan sering kontraksi
pula, maka kehamilannya harus dihentikan.
“Tiap wanita hamil memiliki keunikan tersendiri. Ada yang
kondisinya tetap fit dan bugar meski ketika menjalani trisemester awal yang
sangat penting tapi ada juga yang kondisinya letih dan lemas. Ivon masuk
kategori yang kedua. Saya sendiri sebagai seorang suami berusaha mengerti dan
memahami kondisi itu.” (halaman 23)
Grafik demi grafik USG memberi sebuah fakta yang
mencengangkan bagi pasangan muda yang begitu menginginkan calon anaknya
baik-baik saja. Delapan bulan menunggu, hanya perlu bersabar satu bulan lagi,
apakah perjuangan itu harus sia-sia? Di sinilah Ihwan menceritakan dengan
detail kisah kelahiran Enju. Betapa besar pengorbanan yang harus dilewati istrinya untuk
melalui masa-masa itu. Sejak sembilan bulan dalam kandungan hingga sebuah
tangisan memecahkan suasana hening yang menanti di ruang bersalin rumah sakit. Sebuah
penantian yang akhirnya berbuah manis. Hingga lahirlah Muhammad Enjuardi Aimanullah.
Dituliskan dengan lugas dan ringan, memoar kisah penantian buah
hati di buku ini layak untuk dibaca oleh para pasangan muda yang sedang
menunggu momongan. Penulis juga menuliskan pengalamannya saat mencari nama bayi, asal nama enju, perdebatan tentang rumah sakit dan dokter mana yang digunakan untuk memeriksa, hingga detik-detik penantian kelahiran. Biasanya diari kehamilan ditulis oleh perempuan, kali ini dituliskan
oleh pendampingnya yaitu suaminya. Dengan begini, para suami di luar sana pun
akan tau bagaimana perasaan suami yang sedang menemani sang ibu hamil sehingga
makin sayang dengan sang istri. Di buku ini juga disisipkan beberapa puisi para penulis lainnya yang bertema tentang penantian buah hati.
Hanya saja, memang ada kekurangan yang saya rasakan di buku ini yaitu emosi sang suami kurang terasa kuat, mungkin karena yang menulis sang suami yang tidak merasakan secara langsung gejolak sang janin di rahim. Juga di bagian depan tidak saya temukan data lengkap buku seperti ISBN dan jumlah halaman sehingga saya harus mengecek di belakang covernya dulu. :)
Bagi yang berminat membeli buku ini, silahkan kunjungi Mozaik Indie Publisher
Wah hebat... tiap hari bisa buat resensi buku.
BalasHapusKeren ih... sempat2nya...
BTW bagaimana di tempatmu, gak kena abu letusan Gunung Slamet kan?
Maaf... OOT nih.
habisin jatah buku di rumah, mba. udah beli/pinjam/dikasih ga dibaca kan sayang :D
Hapusga kena kalo di tempatku, soalnya jauh dari kabupatennya, hehe
Mas Ihwan memang luar biasa semangatnya. Selain rempong ngurusi indie publishingnya juga punya passion menulis yg kuat. Partisi Hati-nya sempat bikin aku terlongong-longong, La. Aneh tapi keren gitu tulisannya hihihii..
BalasHapusKapan ya aku bisa nulis memoar ttg anakku kayak gini, udah gak berencana punya lagi sih hihiiii...
kalo yang partisi hati aku belum baca, mba :D
Hapusayo mba Uniek nulis juga, memoar diri sendiri aja. ;)
Makasih ya Ila atas resensinya yang objektif ini, mengungkap kelebihan n kekurangannya secara proporsional.
BalasHapusHmm masih kurang terasa ya emosinya he3 mungkin perlu didramatisir dikit.
Aah Mbak Uniek bikin saya malu saja. Di luar sana banyak yang semangat nulisnya lebih dari saya Mbak, saya belum ada apa-apanya.
Ayo Mbak bikin memoar juga, ga harus punya lagi, tulis aja memoar dua buah hatinya itu.
kalo yang nulis memoar perempuan biasanya ada bonding yang kuat antara sang bayi dengan sang ibu yang membuat cerita jadi lebih detail. tapi karena yang nulis ayahnya jadi kerasa ada yang kurang aja, kak. :D
Hapus