30 Maret 2014

[Resensi Buku] Rumah Idaman by Pipiet Senja


Judul Buku : Rumah Idaman
Penulis : Pipiet Senja
Penerbit : Gema Insani
Terbit : Cetakan kedua, Januari 2005
Tebal : 112 halaman
ISBN : 979-561-797-4
Rating : 3/5

Rumah idaman selalu menjadi dambaan keluarga. Bagi anak-anak rumah adalah tempat kembali mereka setelah bersekolah. Lalu bagaimana bila rumah tak seperti yang dulu mereka punya? Atikah dan keluarganya harus pindah ke kota Jakarta. Meninggalkan rumah tua yang cukup besar di Sumedang yang penuh dengan kenangan karena rumah itu sudah dijual. Jadilah mereka sekeluarga pindah ke rumah sewaan yang lebih mirip gudang karena ukurannya yang kecil, 4x4 meter saja. Rumah sewaan itu tak memiliki kamar mandi sendiri, sehingga mereka harus menyewa kamar mandi yang digunakan oleh lima keluarga. Bayangkan bagaimana repotnya setiap pagi antri untuk mandi!


Adik-adik Atikah banyak, ada Arni, Rosi, Ari dan Ardi. Kelimanya pun harus berbagi ruangan dengan ummi, bapak, mimih yang merupakan neneknya, juga sepupunya bernama Aliah. Syukurlah Aliah akhirnya tinggal lagi di rumah keluarganya di Banten, dan Mimih kembali ke rumah lamanya yang sudah lama ditinggalkan. Tinggallah ketujuh orang itu harus berbagi dan mengisi hari-hari mereka.

Di Jakarta yang tak selalu ramah untuk pendatang, keluarga mereka memulai petualangan yang tak terduga termasuk untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Ada teman Atikah bernama Jefri, anak orang kaya, yang sering mengejek Atikah karena ia orang Sunda.  Kehidupan meski tak selamanya indah harus tetap dijalani dengan ikhlas dan semangat mengubah nasib.

Atikah dan Jamilah, teman sekolahnya yang pengungsi dari Poso, akhirnya menjual jajanan untuk dagangan mereka. Awalnya, mereka tak menyangka antusias ini akan menghasilkan perubahan besar. Atikah mulai mengumpulkan uang hasil jualan. Ummi pun menjahit demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Dan bapak yang seorang tentara pun membuka sebuah kios penyewaan buku untuk Atikah kelola bersama adiknya. Namun begitu, Atikah masih menginginkan rumah idamannya. Dapatkah impiannya tercapai? Ataukah ia harus terus menerus hidup di rumah seadanya itu?

***

Sebuah kisah yang menarik dan penuh hikmah dari buku ini. Awalnya saya kira buku ini seperti novel yang lain, yang hanya mengetengahkan konflik yang biasa, ternyata saya salah. Banyak hal baik yang berusaha dimunculkan oleh penulisnya agar anak-anak dapat mengambil hikmah dari fenomena sosial di sekitar kita. Termasuk belajar untuk jujur, bekerja keras, pantang menyerah, bertoleransi dengan teman, saling berbagi, dll.

Mungkin ada banyak Atikah-Atikah lainnya di sekeliling kita yang berjuang bersama keluarganya untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Untuk menjadi seorang yang survive dengan kehidupan yang serba sulit dari kerasnya ibukota. Mau tak mau itulah yang membuat anak-anak itu belajar satu hal. Bahwa impian bagaimana pun sulitnya akan menjadi kenyataan manakala kita mau mewujudkannya.

Meski tokohnya banyak dan tidak semuanya tereksplor dengan baik, namun tokoh Atikah, Ummi dan Bapak cukup menonjol di novel ini. Saya agak bingung juga dengan penggunaan kata pepat di halaman 11. Sebab rasanya tidak sesuai dengan segmen pembaca anak-anak yang seharusnya mudah mencerna kata yang sederhana. Overall, 3 bintang untuk kisah sarat hikmah ini.

Quote yang saya suka :

“Tidak apa-apa menangis. Kadang kita harus mengeluarkan air mata supaya melegakan hati yang pepat.” (halaman 11)

“Dengan mengenakan jilbab, artinya kita harus selalu memelihara diri kita, perilaku kita, Anakku. Angan sampai jilbab hanya untuk sekadar ikut-ikutan. Jilbab juga membawa citra muslimah, citra Islam.” (halaman 43)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung ya. ^_^

Big Ad