Judul Buku : Rumah Idaman
Penulis : Pipiet Senja
Penerbit : Gema Insani
Terbit : Cetakan kedua, Januari 2005
Tebal : 112 halaman
ISBN : 979-561-797-4
Rating : 3/5
Rumah idaman selalu menjadi dambaan keluarga. Bagi anak-anak rumah
adalah tempat kembali mereka setelah bersekolah. Lalu bagaimana bila rumah tak
seperti yang dulu mereka punya? Atikah dan keluarganya harus pindah ke kota
Jakarta. Meninggalkan rumah tua yang cukup besar di Sumedang yang penuh dengan
kenangan karena rumah itu sudah dijual. Jadilah mereka sekeluarga pindah ke
rumah sewaan yang lebih mirip gudang karena ukurannya yang kecil, 4x4 meter
saja. Rumah sewaan itu tak memiliki kamar mandi sendiri, sehingga mereka harus
menyewa kamar mandi yang digunakan oleh lima keluarga. Bayangkan bagaimana
repotnya setiap pagi antri untuk mandi!
Adik-adik Atikah banyak, ada Arni, Rosi, Ari dan Ardi. Kelimanya
pun harus berbagi ruangan dengan ummi, bapak, mimih yang merupakan neneknya,
juga sepupunya bernama Aliah. Syukurlah Aliah akhirnya tinggal lagi di rumah
keluarganya di Banten, dan Mimih kembali ke rumah lamanya yang sudah lama
ditinggalkan. Tinggallah ketujuh orang itu harus berbagi dan mengisi hari-hari
mereka.
Di Jakarta yang tak selalu ramah untuk pendatang, keluarga mereka
memulai petualangan yang tak terduga termasuk untuk beradaptasi dengan
lingkungan baru. Ada teman Atikah bernama Jefri, anak orang kaya, yang sering
mengejek Atikah karena ia orang Sunda. Kehidupan meski tak selamanya indah harus
tetap dijalani dengan ikhlas dan semangat mengubah nasib.
Atikah dan Jamilah, teman sekolahnya yang pengungsi dari Poso,
akhirnya menjual jajanan untuk dagangan mereka. Awalnya, mereka tak menyangka
antusias ini akan menghasilkan perubahan besar. Atikah mulai mengumpulkan uang
hasil jualan. Ummi pun menjahit demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Dan bapak
yang seorang tentara pun membuka sebuah kios penyewaan buku untuk Atikah kelola
bersama adiknya. Namun begitu, Atikah masih menginginkan rumah idamannya.
Dapatkah impiannya tercapai? Ataukah ia harus terus menerus hidup di rumah
seadanya itu?
***
Sebuah kisah yang menarik dan penuh hikmah dari buku ini. Awalnya
saya kira buku ini seperti novel yang lain, yang hanya mengetengahkan konflik
yang biasa, ternyata saya salah. Banyak hal baik yang berusaha dimunculkan oleh
penulisnya agar anak-anak dapat mengambil hikmah dari fenomena sosial di
sekitar kita. Termasuk belajar untuk jujur, bekerja keras, pantang menyerah,
bertoleransi dengan teman, saling berbagi, dll.
Mungkin ada banyak Atikah-Atikah lainnya di sekeliling kita yang
berjuang bersama keluarganya untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Untuk
menjadi seorang yang survive dengan kehidupan yang serba sulit dari kerasnya
ibukota. Mau tak mau itulah yang membuat anak-anak itu belajar satu hal. Bahwa
impian bagaimana pun sulitnya akan menjadi kenyataan manakala kita mau
mewujudkannya.
Meski tokohnya banyak dan tidak semuanya tereksplor dengan baik,
namun tokoh Atikah, Ummi dan Bapak cukup menonjol di novel ini. Saya agak
bingung juga dengan penggunaan kata pepat di halaman 11. Sebab rasanya tidak
sesuai dengan segmen pembaca anak-anak yang seharusnya mudah mencerna kata yang
sederhana. Overall, 3 bintang untuk
kisah sarat hikmah ini.
Quote yang saya suka :
“Tidak apa-apa menangis. Kadang kita harus mengeluarkan air mata
supaya melegakan hati yang pepat.” (halaman 11)
“Dengan mengenakan jilbab, artinya kita harus selalu memelihara
diri kita, perilaku kita, Anakku. Angan sampai jilbab hanya untuk sekadar
ikut-ikutan. Jilbab juga membawa citra muslimah, citra Islam.” (halaman 43)
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung ya. ^_^