Judul Buku : Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Terbit : Cetakan ke-18, Maret 2021
Tebal: ix + 248 halaman
Genre : buku sejarah
ISBN : 978-602-6208-82-8
Rating Buku : 4/5 🌟
Harga Buku : Rp. 60.000
Bisa beli buku di Shopee atau web Gramedia.com
❤❤❤
[Sinopsis Buku] Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer Catatan Pulau Buru by Pramoedya Ananta Toer:
"...kalian para perawan remaja, telah aku susun surat ini untuk kalian, bukan saja agar kalian tahu tentang nasib buruk yang biasa menimpa para gadis seumur kalian, juga agar kalian punya perhatian terhadap sejenis kalian yang mengalami kemalangan itu....Surat kepada kalian ini juga semacam pernyataan protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun lewat..."
❤❤❤
[Resensi Buku] Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer Catatan Pulau Buru by Pramoedya Ananta Toer:
Dalam buku Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer ada 8 bab yang disajikan Pramoedya Ananta Toer. Bab tersebut antara lain : Janji Indah, Rahasia Umum yang Tak Pernah Diselidiki, Mereka Diangkut dengan Kapal, Mereka Jadi Buangan, Para Perawan Remaja Buangan di Pulau Buru, Siti F., Menjejak Bolansar alias Muka Jawa, dan Menjejak Ibu Mulyati dari Klaten.
Semua kisah itu tersaji dalam 248 halaman yang diterbitkan Penerbit KPG. Cetakan buku yang saya baca adalah cetakan ke 18 (Maret 2021), sejak diterbitkan pertama kali pada bulan Maret 2001, artinya, sudah 20 tahun berlalu sejak buku ini bisa dinikmati oleh pembaca.
Caratan Pulau Buru Dibuat Pramoedya Ananta Toer Saat Jadi Tahanan Politik Tahun 1979-an, Baru Terbit Tahun 2001
Menurut Redaksi KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) menerima naskah Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer pada 11 September 2000, sehari sebelum Pramoedya Ananta Toer berangkat ke Jepang untuk menerima penghargaan utama (grand prize) "The Fukuoka Asian Culture Prize" ke-11.
Penghargaan The Fukuoka Asian Culture Prize ini, yang diselenggarakan oleh Kota Fukuoka dan Yokatopia Foundation, dianugerahkan kepada orang yang dianggap telah memberikan sumbangan besar bagi ilmu pengetahuan, seni, dan budaya Asia. Pramoedya Ananta Toer dinilai banyak menciptakan karya-karya yang bertema kemanusiaan.
Menurut Pramoedya Ananta Toer, kunjungan ke Jepang itulah yang menyebabkan ia teringat pada naskah Perawan Remaja, catatan tentang para perempuan remaja Indonesia yang dijadikan budak pemuas oleh tentara Jepang di Perang Dunia II.
Catatan tersebut disusun berdasarkan keterangan teman-teman sepembuangan Pramoedya di Pulau Buru, serta hasil pelacakan mereka terhadap para budak tersebut.
❤❤❤
Kisah Para Perawan Remaja di Masa Penjajahan Jepang di Indonesia (Maret 1942- Agustus 1945)
Kisah para perawan remaja di masa penjajahan Jepang di Indonesia, Maret 1942- Agustus 1945 ini dirasakan oleh Pramoedya saat ia berumur 18 tahun. Saat itu, ia belum bekerja menjadi juru ketik di Kantor Berita Domei, Jalan Pos Utara, Jakarta.
Saat itu, semua orang mengalami hidup yang serba susah. Banyak yang kelaparan dan tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup.
"Sandang dan pangan merupakan sumber derita yang terasa tiada 'kan habis-habisnya. Untuk dapat makan sepiring nasi dalam sehari, jalan yang harus ditempuh sangat panjang dan berliku. Setiap hari orang bergelimpangan mati kelaparan di pinggir jalan, di pasar, di bawah jembatan. Di desa-desa petani tidak berhak atas panen. Mereka malah terkena kerjapaksa di luar desanya." (Hlm. 4)
Para pelajar di kota justru harus mengerjakan latihan Taiso (gerak badan), Kyoren (latihan baris-berbaris), dan Kinrohooshi (kerja bakti) dalam keadaan kurang makan dan kelaparan, ada yang pingsan, pakaian hanya satu-satunya, dan sering mendapat penyiksaan dari tentara Jepang.
Saat itu, Pemerintah Balatentara Pendudukan Dai Nippon janji akan memberi kesempatan belajar pada pemuda dan pemudi Indonesia ke Tokyo dan Shonanto (Singapura) untuk disekolahkan.
Janji untuk belajar di Jepang itu bermula di tahun 1943, namun janji itu tidak dicetak dalam surat kabar, melainkan hanya dari mulut ke mulut. Sehingga sulit untuk dilacak keberadaannya.
Banyak perawan menghilang dari rumahnya, baik karena sukarela mendaftar maupun dipaksa. Ternyata, mereka dipaksa menjadi budak pemuas tentara Jepang.
Berawal dari janji untuk disekolahkan ke Tokyo dan Singapura, namun berakhir menjadi orang buangan. Banyak perawan yang akhirnya tak tahan dengan penyiksaan dan mati, namun ada juga orang yang bisa berhasil kabur sebelum diangkut ke kapal.
Isu tentang perawan yang akan disekolahkan itu ternyata disebar oleh Sendenbu (Barisan Propaganda/Jawatan Propaganda) yang digunakan sebagai alat perang Jepang dan sangat berkuasa pada saat itu.
"Pada jaman penjajahan Jepang, Pangreh Praja melaksanakan anjuran atau perintah Sendenbu.
Jadi, Sendenbu meneruskan janji pada Pangreh Praja. Para bupati meneruskannya pada para camat. Camat pada lurah. Lurah pada perabot desa dan penduduk.
Sekali lagi: dari mulut ke mulut. Semua berjalan di bawah pengawasan Kempeitai dan alat-alatnya.
Pada waktu itu pemerintahan adalah totaliter, yang seluruhnya dikuasai oleh balatentara pendudukan Jepang."
Sejak tahun 1942, Jepang sangat otoriter di Jawa dan memberlakukan kembali Wijk en Passenatelstel (surat jalan dan bertempat tinggal), sehingga tidak sembarang orang bisa melakukan perjalanan ke mana pun.
"Orang harus punya keterangan penduduk. Untuk bepergian keluar daerahnya harus ada surat keterangan khusus. Menginap di luar domisili harus melapor pada pejabat setempat. Semua ini diawasi oleh Tonariyagumi (Rukun Tetangga) yang harus ada di setiap kampung." (Hlm. 13)
Setelah Jepang menyerah pada Sekutu, nasib para Jugun Ianfu tak lebih baik dibanding saat masa perang berlangsung. Kebanyakan mereka memutuskan untuk tidak kembali ke daerah asal karena malu dengan kondisi mereka. Beberapa diantara mereka mengalami trauma berkepanjangan atau kecacatan baik fisik maupun mental.
Hal inilah yang diangkat dalam buku ini, banyak Jugan Ianfu yang bertahan hidup di Pulau Buru meskipun adat dan alamnya sangat tidak cocok untuk hidup manusia.
Alam Pulau Buru sangat liar, selain itu hukum adatnya hanya berpihak pada orang tertentu saja, sehingga perempuan tidak punya kuasa terhadap nasib dan jiwa mereka sendiri. Sehingga banyak yang mengalami nasib buruk di sana. Mereka bertahan hidup demi dirinya sendiri.
❤❤❤
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung ya. ^_^