Judul : Best Seller Sejak Cetakan Pertama
Penulis : Agus M. Irkham
Penerbit : Afra Publishing(Imprint Indiva Media Kreasi)
Terbit : Januari 2008
Tebal : 184 halm.
Elan
perbukuan hari ini menunjukkan pesona yang gemah ripah. Tren menerbitkan buku
tak hanya mampir di kalangan penulis yang biasa menelurkan buku, namun juga
hadir di kalangan artis maupun pejabat tinggi. Seolah, tren ini menunjukkan
derajat intelektualitas seseorang. Tak menerbitkan buku, berarti tak gaul!
Ratusan buku
lahir setiap bulan dari berbagai penerbit. Namun, geliat perbukuan memiliki
sisi yang sering tak tersentuh. Pengetahuan tentang literasi itu sendiri sangat
minim. Hal ini membuat kualitas perbukuan di Indonesia kurang bila dibandingkan
di luar negeri. Buku ini menghadirkan sisi lain dari dunia literasi yang biasa
diakrabi oleh penulis. Ada tiga bagian yang disajikan yaitu : dunia kecil yang
begitu indah, mata baru komunitas literasi, dan bahaya bangsa tanpa minat baca.
Bagian
pertama berkisah tentang suka duka yang terjadi di dunia literasi, baik yang
dialami penerbit, penulis maupun orang-orang yang berkepentingan. Seperti pada
judul artikel “Best Seller sejak cetakan pertama”. Strategi best seller sejak
cetakan pertama lazim digunakan oleh penerbit cilukba, penerbit yang ingin
menggaet pembaca dengan menempelkan label best seller meski hitungan best
seller sendiri masih ambigu. Sebab, tidak tahu dari mana hitungan itu berasal.
“Dalam pandangan penerbit, best seller
barangkali dianggap menjadi (salah satu) alasan utama orang membeli buku.
Pamrihnya jelas, agar tidak dibilang kuper. Bisa ikut cuap-cuap. Aman secara
sosial. Masyarakat cilukba gampang heboh, tapi juga mudah lupa. Masyarakat
cilukba akhirnya memproduksi penerbit
cilukba pula. Yaitu penerbit yang hanya mau main aman saja. Termasuk
kecenderungan menjadikan kata best seller, (seri) buku laris, sebagai magnet
penjualan. Meski untuk itu ia menjadi penerbit yang tidak memiliki
karakter/genre yang jelas.” (hlm. 15)
Ada pula artikel
berjudul “Buku rasa komik yang seksi”. Buku ini memiliki kualitas yang bagus
dan tingkat keterbacaan yang tinggi, karena menyasar segmen pembaca yang sangat
terbatas. Misalnya saja buku Re-Code Change Your DNA yang ditulis Rhenald
Khasali yang dijual seharga 150 rb. (hlm. 37)
Ada pula
buku tentang menulis(buku) atau skill
writing. Buku seperti ini sering dicari oleh para peminat literasi, yang
ingin menjadi penulis berdedikasi. Pembaca yang tengah belajar menulis,
mestinya sejak dini harus disapakan satu falsafah berkarya, seperti yang juga
diakrabi penyair Rendra.
“Penulis harus secukupnya saja menyesali
kegagalan atau mensyukuri kesuksesan. Ia tidak boleh terjerat oleh sukses atau
kegagalan karyanya. Kegemaran berkokok atas satu sukses atau kegagalan
karyanya. Kegemaran berkokok atas satu sukses atau menangis pilu karena suatu
kegagalan akan menyebabkan ia kerdil. Pikiran dan jiwa tidak lagi merdeka tanpa
beban sehingga kemurnian jiwa sukar lagi didapatkan. Pada hakikatnya, seorang
penulis harus memahami bahwa nama itu kosong dan ketenaran itu hampa, hanya
jalan hidup yang nyata.”(hlm. 41)
Bahasan
lainnya adalah bujuk rayu endorsment, buku antimarketing, buku-buku parenting,
buku yang dibuat si lugu(buku anak), krisis buku pemikiran Islam, manajemen kurang
ajar buku ajar, misteri harga buku, hingga ke(tidak)mungkinan menyatukan
penulis.
Bagian kedua
berjudul “mata baca komunitas literasi” berisi ragam komunitas literasi yang
menggeliat seperti yang dilakukan klub pencinta perpustakaan SMUN 49 Jakarta,
rumah belajar di lembah Dieng, hingga Mabulir(Majalah dan Buku Keliling
Bergilir) yang dibuat oleh Mbah Dauzan.
Di klub
pencinta Perpustakaan yang diberi nama LLC ini memiliki program wajib baca buku
fiksi dan non fiksi masing-masing 1 buku per minggu. Para siswa diminta untuk
mengikat ide-ide penting yang berkelibatan di dalam buku dengan cara
menuliskannya kembali dalam bentuk review. Terbukti, LLC sukses menaikkan nilai
output sekolah. Karena persentase kelulusan naik hingga mencapai 100 persen. (hlm.
134)
Bagian
ketiga berjudul “bahaya bangsa tanpa minat baca” berisi kegelisahan penulis
yang merasakan geliat minat baca dalam negeri dirasa kurang. Budaya tutur lebih
lazim bertumbuh di kalangan masyarakat. Inilah yang menyebabkan tingkat
keterbacaan buku sangat minim.
“Sejauh informasi dianggap tidak penting sejauh itu pula minat baca
(buku) akan tetap ‘jongkok’. Biar ada berbagai kebijakan populis : kampanye
gemar membaca, perpustakaan keliling, subsidi buku, hibah buku, buku murah
(diskon), deregulasi industri penerbitan buku, dan sebagainya.”(hlm. 161)
Kegelisahan
Gur Ir telah ia tuangkan dengan lugas dalam buku ini. Sebagai sumbangan
pemikiran tentang krisis yang terjadi di dunia literasi Indonesia. Dengan
menyasar pembaca yang berkepentingan dengan buku secara langsung, Gus Ir ingin
mengembangkan semangat literasi kita bertumbuh kembali dari beragam sisi, baik
dari penerbit, pembaca, penulis maupun pemerintah. Buku ini layak dibaca oleh
siapa pun yang ingin bersinergi mewujudkan harapan literasi Indonesia yang
lebih baik. Overall, lima bintang
dari saya untuk buku ini.
Wow, judulnya menggelitik : Best Seller Sejak Cetakan Pertama. Isinya tentu menyinggung sedikti banyak mengenai kiat2 tuk menembus best seller ya, hehehe.
BalasHapusIla, ternyata kamu pencinta buku sekali ya, sampe bikin blog khusus tuk mengulas resensi buku. salut deh .
Iya, dibahas kiat meraba tren perbukuan. Kalo blog ini memang khusus resensi biar pisah sama blog personal, mba. :D
HapusKang agus keren...
BalasHapusIya, mba Dedew. Sumbangan pemikirannya keren. Masih relevan dipakai sampai sekarang.
Hapus