Judul : Pilkadal di Negeri Dongeng
Pengarang : Tundjungsari
Penerbit : Afra Publishing, Kelompok Penerbit Indiva
Media Kreasi
Terbit : Cetakan Pertama, September 2007
Tebal : 168 halaman
ISBN : 978-979-1397-07-0
Pilkadal di negeri dongeng di kabupaten Antah Berantah ibarat kisah
yang merefleksikan dagelan di negeri yang kita huni sekarang. Stereotip yang
dipandang orang ketika terjadi pilkadal adalah siapa yang berkuasa, memiliki
basis massa dan uang yang banyak bisa dipastikan menjadi kanditat yang diperhitungkan
dalam bursa pencalonan penguasa. Pilkadal yang menelan bertrilyun uang rakyat
untuk prosesnya ternyata tidak penghasilkan pemimpin yang berdedikasi pada
negeri yang diamanahkan. Justru menjadi ajang mengeruk kekayaan agar bisa
diwariskan pada anak keturunan, bila perlu hingga 7 generasi. Ada tiga calon
yang masuk kandidat sebagai calon bupati dan wakil bupati yaitu pasangan Suryo
Buwono dan Siti Aminah, Jaka Lesmana dan Sulastri, juga Tugino dengan Bahtiar.
Apa yang
terpikir oleh seorang politisi seperti Pak Bupati, Suryo Buwono, ketika masa
jabatannya hampir usai? Ia mendatangi peramal. Suatu isu yang lazim didengar
ketika pilkadal berlangsung. Para calon sibuk mencari cara untuk menang, mulai
dari black campaign, gaet sana sini
dengan parpol lain, sampai mendatangi peramal demi mencari jawaban siapa calon
yang bisa mendampingi. Sungguh ironis, mengingat berapa banyak politisi yang
sebenarnya cerdas tapi menjadi tidak logis ketika berhadapan dengan situasi
chaos ala pilkada, segala yang bisa memuluskan jalan menjadi pilihan yang wajib
ditaati demi tercapainya keinginan hati.
Tokoh Jaka
Lesmana digambarkan menjadi sosok bakal calon yang flamboyan, dengan
kebiasaannya yang suka mendekati perempuan-perempuan cantik untuk dikoleksi. Jaka
yang disebut dengan nama kecil “Amin”, membuat pembaca menjadi tahu ada orang
seperti dia. Yang liciknya minta ampun, bahkan saat berhadapan dengan orang
yang ingin memeras hartanya lewat video skandal seks, Jaka justru bertindak
gesit dengan melibas isu itu. Awalnya saya agak bingung dengan tokoh Jaka yang ditulis dengan nama
Amin, tapi beberapa kalimat berikutnya menggunakan Jaka lagi. Ternyata saya
baru mengerti Amin digunakan sebagai nama kecil yang hanya dipakai oleh orang-orang
yang dekat saja.
Tokoh Lastri
merefleksikan sosok perempuan yang terbawa arus demokrasi negeri dongeng, di
mana ia menjadikan kekuasaan sebagai tingkatan paling menakjubkan yang ingin ia
raih. Basic dari keluarga politisi dengan dukungan massa yang meluber,
menjadikan Lastri menjadi calon yang digadang-gadang mampu menyaingi calon
lainnya. Meskipun mengorbankan keluarga, bahkan pernikahannya. Seperti yang
pernah saya dengar dari slentingan teman, seorang perempuan ketika masuk kancah
politik seperti kehilangan kontrol diri. Menjadi ambisius lebih dari calon
laki-laki, sebab seakan ingin membuktikan bahwa apa yang dianggap orang tidak
mampu ia gapai karena ia perempuan, ingin ia patahkan. Sejatinya, hal seperti
yang dilakukan Lastri ini yang menjadikan pemerintahan kacau, karena ketika
sudah di atas, bisa jadi Lastri tidak akan menjadikan rakyatnya sebagai yang
utama, yang ia seharusnya urusi selama masa pemerintahan.
Tokoh A
Liong pun memegang peranan dalam transaksi kekuasaan di negeri dongeng. A Liong
yang merupakan bandar togel berinisiatif untuk melobi calon yang dirasa mampu
menjadikan dirinya tetap ‘aman’ di jalur bisnisnya. Yang ini membuat saya
terhenyak ketika membacanya, yaitu saat A Liong mengatakan dua tahun pertama
boleh ditertibkan, tiga tahun sisanya jangan ganggu bisnisnya. Ini ibarat buat
simalakama. Pantas saja togel maupun prostitusi sulit diberantas. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa backing power para pebisnis gelap itu adalah para
penguasa itu sendiri. Apa jadinya bila transaksi kekuasaan semacam ini menjadi
kebiasaan di kalangan politisi?
Tokoh Tugino
menjadi tokoh yang bisa membawa hiburan tersendiri ketika saya membacanya. Seperti
saat ia menyuguhkan nasi jagung dan berpakaian ala orang ndeso hanya dengan
kaus putih tanpa kerah dan celana selutut, saat menerima kedatangan bupati
Suryo. Tugino yang seorang pengusaha besar merasa perlu menyaingi Suryo dalam
bursa pencalonan bukan karena motif ingin menang, namun hanya ingin memberi
shocking terapi bahwa sekelas Tugino saja bisa masuk menjadi calon. Alasan yang
didasari dari ketidaksukaan Tugino dengan kebiasaan penguasa yang suka minta ‘upeti’
demi melancarkan usaha. Padahal uang yang sudah digelontorkan bukan uang yang
sedikit, tapi ‘upeti’ semacam itu bisa diminta berkali-kali jika si penguasa
mengancam perihal keberlangsungan bisnisnya.
Sosok Slamet
menjadi cermin para rakyat kecil yang tertindas ketika penguasa memberi
kebijakan yang ambigu. Seperti kartu sehat yang hanya diberlakukan pada
sebagian kecil warga, padahal warga di desa itu semuanya miskin. Yang kaya bisa
dihitung jari. Seperti saat Slamet harus bolak-balik ke rumah sakit mengurus
tiga orang yang menjadi tanggungannya yaitu istrinya yang hamil tua, bapaknya yang sakit diabetes dan calon
bayi yang akhirnya lahir dengan proses prematur. Lewat dialog ini, bisa
terbayang bagaimana situasi yang harus dialami oleh Slamet.
“Bayi
Bapak harus tinggal di rumah sakit karena premature. Karena surat-surat
keterangan tanda tak mampu hanya berlaku untuk istri Bapak, maka perawatan
untuk bayi Bapak tetap dikenakan biaya.”
“Tapi
saya benar-benar tidak punya uang, Suster…”
“Kalau
begitu ya urus surat-surat miskin. Dan habis ini KB, sudah tahu miskin kok
hamil….”
Tundjungsari
sebagai penulis yang baru dibawah bimbingan Afra Writing School menuliskan
dengan lugas masalah yang ia lihat di negeri kita yang gemah ripah loh jinawi,
sayangnya kekayaan alam malah hanya digunakan oleh sebagian kalangan saja.
Cermin sosial yang dibiaskan oleh Tundjungsari lewat novel ini ibarat dagelan
ala parodi kehidupan yang mengingatkan kita bahwa seperti itulah yang terjadi
di tanah kita sekarang. Meski ending yang kurang greget karena menggantung, tapi
saya menikmati alur yang dilukiskan dengan apik lewat ragam tokoh yang melintas
di novel ini.
miris, tapi sepertinya demikianlah yang umum di Indonesia, penguasa aslinya adalah boneka pengusaha, atau penguasa itu aslinya pengusaha yang mendompleng negara...
BalasHapusIya, semuanya demi memuluskan kepentingan pribadi atau golongan. Kalau pun ada yang bersih, bisa dihitung dengan jari. Dan tantangannya dari lingkungan politik lebih berat, karena dianggap beda sendiri.
Hapuswah, politik dikemas dalam dongeng. (y) dari judulnya aja udah menarik perhatian
BalasHapusYups. Dongeng yang sebenarnya ada di negeri kita, mba. Yuk dibaca. :)
Hapus