Judul Buku : Tarothalia
Pengarang : Tria Barmawi
Penerbit : Gramedia
Terbit : Juni 2007
Tebal : 256 halm.
ISBN : 978-979-22-2928-8
Genre : Metropop
Cerita ini
cerita tentang persahabatan, cinta dan indra keenam yang dialami seorang
Thalia, anak tengah keluarga Jehan. Walaupun sudah tiga kali dipecat dan belum
juga berhasil menemukan pekerjaan yang cocok, tidak pernah terlintas di benak
Thalia bahwa ia akan menggunakan indra keenamnya untuk mencari uang. Tapi
bujukan maut Bella dan kondisi keuangan yang mendesak membuatnya tergoda. Ia
pun menjalankan rencana Bella yang hendak menjadikannya paranormal eksekutif.
Paranormal
eksekutif itu harus punya manager, kartu nama dan blazer hitam sebagai
identitas yang elegan. Itu kata Bella, yang akhirnya menjadi manager Thalia untuk
urusan mengurus jadwal dan mencarikan job. Thalia yang awalnya malas, malah
justru menemukan klien-klien ajaib. Mulai dari Alin, Rainy, hingga teman-teman
Rainy.
Klien
pertamanya adalah bos Bella, bernama Alin. Alin terlibat kasus perselingkuhan
dengan seorang paruh baya yang membuat istri si lelaki menjadi dendam padanya.
Alin mengalami banyak rasa sakit ketika berurusan dengan dunia mistis. Hingga
saran dari Thalia membuatnya berubah pikiran, ia harus berbaikan dengan si
istri lelaki itu dan minta maaf karena mengambil apa yang bukan haknya.
Klien
keduanya adalah Rainy, sepupu Cassio, teman segedung Bella yang ia temui di
jalan. Rainy yang sukses dikerjai oleh orang yang iri padanya. Karena sering
pergi dengan Cassio, membuat Thalia merasa nyaman. Mereka pun menjadi dekat dan
saling jatuh cinta. Gosip seputar Rainy, penyanyi multitalenta yang sedang
menjadi tren merebak. Rainy memiliki konsultan spiritual, seorang Thalia.
Tidak
disangka-sangka, bukan saja rencana itu sukses, tapi Thalia pun menjadi seleb
baru, karena kliennya sebagian besar adalah para artis. Masalahnya, sejak dulu
Thalia tidak pernah punya keinginan jadi selebriti. Yang membuat Thalia
kebanjiran job untuk tampil di tv, majalah maupun menangani klien lain yang
artis pula.
Sekarang
Thalia jadi terjebak di tengah banyak masalah rumit. Klien-klien yang rewel,
jadwal kerja yang semakin padat, urusan cinta yang ternyata tidak semulus
dugaannya, dan hatinya sendiri yang penuh dengan penolakan. Ditambah lagi
perasaan Bella yang sering membuatnya tak nyaman, Thalia menganggap Bella
menjadikannya mesin pencetak uang. Kerja banting tulang demi menyelesaikan
kontrak yang sudah disepakati dengan klien. Thalia tak menemukan kedamaian
seperti sebelumnya. Ia ingin menjadi Thalia yang dulu, biasa saja, menjadi anak
biasa dari keluarga Jehan.
***
Hidup
seseorang senantiasa dihadapkan pada pilihan. Ketika harus memilih, antara
cinta dan persahabatan, antara persahabatan dan karir, antara karir dan suara
hati, mana yang akan kaupilih? Memilih tak pernah mudah, bagi seseorang dengan
indera keenam sekalipun.
Thalia yang
berprinsip tak menggunakan kekuatannya untuk kepentingan pribadi membuat ia
salah paham dengan Bella karena mengira ia sudah tahu tentang masa lalu Cassio.
Thalia yang santai, bad temper dan
pengangguran membuat pembaca jadi
tersentil. Mungkin ada di antara kita yang mirip dengan Thalia, menjadi orang
spesial karena pengaruh keturunan. Meski kisahnya berbeda, tapi ada orang
tertentu yang memiliki indra keenam. The
gift yang sering menjadi masalah karena muncul tiba-tiba.
“Saya selalu dihantui rasa bersalah setiap
melihat klien yang terlalu bersemangat memercayai penglihatan saya. Padahal
saya sudah memberi peringatan untuk tidak terlalu menggantungkan diri. Dan saya
sudah bilang bahwa apa yang saya ketahui sebelum waktunya belum tentu benar,
bisa jadi hanya bisikan setan. Tapi susah sekali membuat orang tidak
menggantungkan diri pada saya. Rasanya seperti... menjerumuskan. Saya senang
melakukan pekerjan ini ketika saya harus menolong orang yang bermasalah.
Tetapi, saya tidak bisa menolak mereka lihat.”
Sebenarnya
saya suka sesi konsultasi Thalia dengan gurunya. Setidaknya Thalia berusaha
untuk bijak menggunakan kekuatannya, sayangnya pas di ending saya ngerasa gregetan
sama Bella. Yang bikin saya gemes karena buat apa Thalia mengalami banyak hal
di kisah ini dari awal hingga jungkir balik kalau tetep endingnya enggak asyik. Saya pikir Thalia bakal beneran lepas dari
tarot untuk selamanya karena ngerasa dirinya terbebani dengan the gift ini. Tapi fiuh, Bella malah
memfasilitasi. Ibarat kata, udah muter nyari solusi buat motong rambut biar
keren, eh tetep potongan rambutnya kembali ke selera asal. Yahh, pembaca
kuciwaa. >.<
Saya juga
suka bagian diskusi ala psikologi tentang sifat man and woman yang bikin pembaca jadi ngerti gimana sih sifat
keduanya kalo menanggapi suatu hal. Misal gini :
“Biasanya kalo cewek curhat sama cewek, ujung-ujungnya minta dukungan. Misal si A bilang... aduuh si C ngebetein banget deh, dia ngeharap si B bakal bilang... emang, si C itu nyebelin banget. Terus si A dan si B ini saling mendukung...”
“Nah, kalo cewek curhat sama cowok, biasanya Cuma curhat pengin didengerin aja. Kalo cowoknya komentar malah didebat. Curhat yang gini pada dasarnya si cewek Cuma mau didengerin dan dihibur doang.”(hlm. 200)
Saya juga salut
sama perjuangan Thalia buat berubah jadi wanita karir, buat orang yang berantakan dan nggak pedean macam
dia, berubah jadi teratur dengan jadwal itu perlu pembiasaan. Trus, Cassio ini tipe lovable, cool, supel dan ganteng. xD Sayangnya playboy cap kaki kuda *eh*,
jadinya ada baiknya emang kalo Cassio -si guling penyot- ini jadian samaa.... *rahasia* :p *no spoiler* Intinya, kisah persahabatannya keren, kisah cintanya
juga, yang bikin miris justru ending
buat nyari solusi the gift ini. Saya
ngarep kalo lebih baik the gift ini diilangin aja. Huhu. *bisa kan, mba Tria?* xD
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung ya. ^_^