Review Buku "Love in The Library":
Bagaimana rasanya jatuh cinta di tengah masa-masa kelam selama pengungsian di camp?
"Love in The Library" merupakan karya yang luar biasa, mengangkat kisah nyata tentang cinta yang tumbuh di tengah ketidakadilan selama Perang Dunia II.
Buku anak ini berlatar di kamp penahanan Minidoka, tempat orang Jepang-Amerika ditahan dengan kejam, buku ini berhasil menyentuh hati pembaca dengan keharuan yang mendalam
Love in the Library menceritakan secara singkat kehidupan Tama selama di kamp konsentrasi tersebut. Ia berperan sebagai seorang pustakawati di perpustakaan yang ada.
Tentu, bagi Tama, hidup di kamp konsentrasi tidaklah mudah. Hak-hak mereka dicerabut begitu saja.
Kisah cinta antara Tama dan George, yang tumbuh di tengah penderitaan, menggambarkan bahwa cinta sejati bisa muncul di tempat yang penuh ketidakadilan.
Penulis, Maggie Tokuda-Hall, dengan indah menggambarkan perjuangan mereka untuk menemukan harapan dan kebahagiaan dalam situasi yang sulit.
Tama menyukai buku. Di halaman-halamannya terdapat dunia yang penuh dengan warna dan cahaya, cinta dan keadilan.
Di antara sampulnya ada kata-kata yang menanam benih di taman pikiran Tama. Betapa ajaibnya—bahkan di Minidoka—perpustakaan sekecil itu bisa memuat begitu banyak hal di dalam keempat dindingnya!
Love in The Library - Menemukan Cinta di Tengah Penderitaan di Camp Pengungsian :
Dengan latar belakang pemboman Pearl Harbor dan kebijakan kontroversial pemerintah AS pada masa itu, pembaca diajak merenung tentang keberanian dan ketahanan manusia di saat-saat sulit.
Di hari-hari lain, terutama saat salju turun, hampir tidak ada orang yang berani melawan dinginnya hanya untuk sebuah buku.
Tapi sebagian besar hari-harinya sama saja. Tama terus menunduk dan berusaha untuk tidak memikirkan tentang kehidupan yang dulu dia jalani. Ada sebuah kata yang menggambarkan hal ini, Tama tahu: konstan
Pertanyaan konstan. Kekhawatiran terus-menerus. Ketakutan yang terus-menerus.
Tapi kemudian, ada juga George dan senyum lebarnya tetap ada.
Pengingat Sejarah Kelam Camp Pengungsian Minidoka :
Buku "Love in The Library" bukan hanya sekadar kisah cinta, tetapi juga sebuah pengingat akan sejarah yang perlu diingat. Betapa mengerikannya sebuah perang bisa mengubah hidup banyak orang, meskipun mereka bukanlah orang yang ikut berperang juga. Mereka hanyalah korban dari kebencian yang mendalam.
Seperti yang tertulis dalam catatan penulis di buku ini yang menandakan bahwa supremasi dan rasisme melanda selama perang, bahkan menyisakan perasaan tertekan hingga kini.
Hingga kini, isu rasisme masih ada di Amerika, bahkan anak-anak pun tidak bisa hidup dengan nyaman, selama mereka bukan orang Amerika asli alias warga pendatang.
Bagi pendatang yang berbeda suku dan warna kulit, terasa sekali diskriminasi rasis yang dilakukan. Termasuk rasisme pada warga keturunan Asia.
Setelah negara Jepang menyerang Pearl Harbor pada tahun 1941, Franklin D. Roosevelt menandatangani Perintah Eksekutif 9066, yang menyebabkan warga keturunan Jepang di Pantai Barat "direlokasi". Ini adalah bahasa yang rapi yang digunakan untuk mengaburkan kebenaran: bahwa warga negara Amerika dipenjara secara tidak sah karena kejahatan menjadi orang Jepang.
120.000 orang Jepang-Amerika yang dipenjara kehilangan pekerjaan, rumah, pendidikan, dan harta benda mereka. Mereka harus pergi dalam waktu singkat ke pusat relokasi dan kemudian kamp penahanan hanya dengan membawa apa yang bisa mereka bawa.
Pusaka keluarga, harta benda berharga, hewan peliharaan—begitu banyak yang ditinggalkan karena kebutuhan. Mereka mungkin membutuhkan makanan, peralatan, pakaian. Mereka tidak tahu, Mereka tidak diberitahu. Maka mereka meninggalkan kehidupan mereka.
Menemukan Kekuatan Cinta dalam Ketidakadilan Perang :
Tama, yang bekerja di perpustakaan kecil di kamp, menjadikan perpustakaan sebagai tempat untuk mencari pelarian dari kenyataan yang pahit.
Pertemuan harian dengan George, yang setia datang dengan tangan penuh buku, membawa warna dan cahaya harapan dalam kehidupannya.
Pertanyaan yang muncul dari persahabatan mereka memberikan keindahan narasi buku ini.
To fall in love is already a gift. But to fall in love in a place like Minidoka, a place built to make people feel like they weren't human-that was miraculous. That was humans doing what humans do best.
Jatuh cinta merupakan sebuah anugerah. Tapi jatuh cinta di tempat seperti Minidoka, tempat yang dibangun untuk membuat orang merasa dirinya bukan manusia—itu sungguh ajaib. Itulah manusia yang melakukan hal terbaik yang dilakukan manusia.
Ilustrasi yang indah dan elegan dalam buku ini, menampilkan foto asli Tama dan George, menambahkan perasaan emosional yang mendalam.
Keberanian kakek dan nenek penulis dalam membagikan kisah pribadi mereka menunjukkan bahwa cerita ini bukan hanya fiksi, tetapi juga bagian penting dari sejarah keluarga penulis.
"Love in The Library" bukan hanya buku untuk dibaca, tetapi juga pengalaman untuk dirasakan. Ini adalah karya yang memperkaya pemahaman kita tentang masa lalu yang menunjukkan bahwa ada kekuatan cinta dalam ketidakadilan yang terjadi di dunia.
Jatuh cinta bukan hanya milik orang yang bebas saja, tapi siapapun yang hidup di dunia ini.
Dengan alur yang penuh emosi dan narasi yang mendalam, buku ini patut diapresiasi sebagai kontribusi berharga terhadap sastra yang menginspirasi dan mendidik.
Nah, selamat membaca ya! ❤️
❤️❤️❤️
Sinopsis Buku :
"A powerful must-read."—Booklist (starred review)
Set in an incarceration camp where the United States cruelly detained Japanese Americans during WWII and based on true events, this moving love story finds hope in heartbreak.
To fall in love is already a gift. But to fall in love in a place like Minidoka, a place built to make people feel like they weren’t human—that was miraculous.
After the bombing of Pearl Harbor, Tama is sent to live in a War Relocation Center in the desert. All Japanese Americans from the West Coast—elderly people, children, babies—now live in prison camps like Minidoka. To be who she is has become a crime, it seems, and Tama doesn’t know when or if she will ever leave.
Trying not to think of the life she once had, she works in the camp’s tiny library, taking solace in pages bursting with color and light, love and fairness. And she isn’t the only one.
George waits each morning by the door, his arms piled with books checked out the day before. As their friendship grows, Tama wonders: Can anyone possibly read so much? Is she the reason George comes to the library every day?
Maggie Tokuda-Hall’s beautifully illustrated, elegant love story features a photo of the real Tama and George—the author’s grandparents—along with an afterword and other back matter for readers to learn more about a time in our history that continues to resonate.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung ya. ^_^